Laman

Rabu, 20 Juni 2018

Tutup Buku

Setelah badai Syawal Plot berhasil kami lewati, ibu dan saya memutuskan membenahi buku-buku yang tertumpuk di kamar belakang. Rencana awalnya adalah memilah buku yang penting dan masih dibaca atau bisa diberikan dan buku yang bisa diperdagangkan dalam hitungan kilo (benar kami melakukannya).

Syawal Plot adalah rangkaian kegiatan yang terdiri dari:
  1. Memutahirkan bentuk hidup, jumlah anak, prestasi sekolah anak, pekerjaan, rumah, kepemilikan bendawi, dandanan, semrat phone.
  2. Mengeluh tentang tantangan hidup yg dilewati. Dalam tahap ini kisah yang lebih sengsara akan lebih menjual, mirip trick melewati Indonesian Idol.
  3. Membicarakan orang lain yang tidak ada dalam ruangan. 
  4. Membuka aneka stoples.
  5. Pulang dan doa penutup 

Salah satu buku tanpa gambar sampul memaksa saya membuka halaman-halamannya agar tahu jenis buku dan kelayakan. Ternyata buku tanpa sampul tersebut bukan tanpa alasan. Jika melihat konteks waktu, buku tersebut memang diharuskan tanpa sampul untuk alasan keamanan.

Salah satu buku simpanan bapak yang dia dapat entah karena dia ingin belajar atau karena pada saat itu dia hanya sekedar penasaran.

Hari ini, buku tersebut tidak perlu disembunyikan, beberapa orang justru semakin eksibionis mempertontonkan tumpukan koleksinya di lemari paling depan. Pikiran saya menetap pada informasi bahwa semuanya berubah, yang dulunya dianggap dosa dan haram, hari ini bisa halal dan diimani. Lalu bagaimana dengan nilai-nilai yang ditawarkan di dalamnya, apakah akan tetap sama atau akan hambar berubah dan tidak lagi menjadi penting.

Buddha pernah berkata: "Aku hanya mengajarkan satu hal dan hanya satu hal saja, yaitu
penderitaan dan ahir dari penderitaan. Engkau sendiri yang harus melakukannya (keluar dari penderitaan/dukka)"

Saya harus akui hari ini, seperti buku tersebut 3 dekade lalu, saya sedang mengalami banyak masalah dan musibah hidup. Ditolak oleh masyarakat gara-gara pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah, kadang saya tidak bisa membayangkan dan karena memang tidak pernah mengalami hidup damai dan bisa tenang berjalan-jalan di ruang publik. Entahlah kapan hal tersebut berlaku. Jelasnya hari ini saya masih harus mengalami belenggu penderitaan.

Saya menumpuk beberapa buku yasin hasil tahlilan 1,000 hari mangkatnya beberapa Bu dhe dan Pak dhe. Ibu melarang saya mempertimbangkannya (menjual dalam harga kiloan) dengan alasan karena berisi tulisan suci. 

Segera saya berkata:
"Mau dibaca atau tidak?"

Ibu hanya diam dan bingung dan dalam kebingungannya aku tahu ibu ingin mengatakan bahwa kita sudah menyelesaikan banyak buku, melewati banyak kematian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar