Masih ole-ole dari workshop ICT di Yogyakarta. Tulisan ini tentang
jurnalisme, kecakapan menulis dan partisipasi perempuan dalam media. Media
adalah senjata dua sisi, satu bagiannya tajam namun berguna untuk memasak dan
memotong sedangkan sisi lainnya bisa melukai bahkan membunuh. Jenis-jenis media
antara lain adalah media tulis cetak (buku, koran, majalah, atau teks wacana
serta diskursus), maupun media elektronik (radio, televisi, video) serta media
perpaduan yang menggabungkan tulisan dan gambar visual. Bahkan yang abad ini
dapat diakses secara global adalah media internet (website, blog, microblog)
yang menggabungkan tulisan serta gambar visual. Media adalah skrip terbesat
yang menuliskan sejarah peradaban manusia. Melalui media bentuk
sosial,diskursus dan opini dapat dibuat untuk menggendalikan kekuatan dan
bentuk masyarakat
.
Perempuan juga dapat memiliki akses dan terlibat dalam media. Usaha ini dianggap
penting agar pengalaman empiris dapat diceritakan dari kacamata perempuan serta
dapat menfasilitasi suara perempuan dalam usaha meningkatkan taraf hidup
perempuan.
Analogi paling relevan yang menjadi epidemik di media adalah bagaimana
media menceritakan kasus perkosaan. Kejadian tersebut seperti yang dikutip
dibawah ini:
“Seorang wanita diperkosa oleh pacarnya pada saat berkencan. Awalnya tersangka mengajak pacarnya untuk berkencan di malam hari. Tersangka memaksa korban memakai rok. Korban kemudian dibawah kesebuah rumah kosong dan diperkosa sebanyak 2 kali dengan ancaman kekerasan. Kemudian korban diantar pulang, namun sebelum sampai rumah, korban diperkosa lagi dibawah jembatan sebanyak 2 kali. Setelah beberapa hari ahirnya korban berani menceritakan kepada orangtuanya dan kemudian melaporkan ke pihak berwajib”
(Dikutip bebas dari harian lokal.)
Berita perkosaan seperti yang dikutip diatas adalah berita yang secara
kronologis menceritakan sensasi seksual dari serangkaian peristiwa perkosaan.
Seperti dibedah dibawah ini.
Seperti dikutip dalam kalimat :
”Tersangka memaksa korban memakai rok”
Ada dua sisi yang bisa dipahami dari kalimat tersebut. Pertama adalah
memberi peringatan tentang
pola pemerkosa. Kedua, pemaikaian rok dijadikan kambing hitam atas peristiwa perkosaan
pola pemerkosa. Kedua, pemaikaian rok dijadikan kambing hitam atas peristiwa perkosaan
Setelah itu, cerita peristiwa tersebut menceritakan tentang jumlah atau
presentasi korban diperkosa dengan menggunakan tolak ukur ejakulasi laki-laki,
bukan dari rasa sakit yang dialami korban. Sedangkan trauma yang dialami korban
tidak diceritakan.
Contoh diatas adalah berita pemerkosaan yang sering terjadi di negara ini.
Karena jumlah peristiwa perkosaan tersebut banyak, jurnalis perempuan kadang
melewati berita-berita seperti ini. Penulis atau jurnalis perempuan akan
menggungakan media novel atau karya ilmiah untuk menceritakan dari sisi korban.
Sayangnya novel atau karya ilmiah jarang dibaca atau diakses ketimbang berita
di TV atau koran.
Ada banyak tema yang bisa ditulis dan dikritisi dalam jurnalistik dan
menulis. Laporan peristiwa perkosaan hanya salah satu contohnya. Dalam
penulisan tersebut, jurnalis feminist sangat dibutuhkan keterlibatan dan aksesnya
sebagai bagian dari proses demokrasi di negara ini. Perempuan dapat
memberdayakan diri dalam menulis dan mereportasi kejadian yang ditangkap tiap
hari serta menceritakan dari sisi feminist.
wah...menarik juga polapola jurnalismenya......sepakat, harus dipukul rata gak ada penutupan akses sepihak .....
BalasHapusWah, memang peran perempuan kini semakin terlihat di muka umum dengan jalan Feminisme.
BalasHapus@Keset: Masih ingat awal kemunculan sastrawangi? Masyarakat mengganggap Ayu Utami, Jenar Maesa, dan lain-lain terlalu barat. Padahal itu adalah hasil dari 30 tahun perempuan dalam tekanan. Sastrawangi adalah gaung dan artifek dari masa reformasi.
BalasHapus@Roman: Terima kasih sudah mampir. Feminisme memang ideology yang kenyal. Bisa masuk di manapun.
iya te,awal kemunculan sastrawangi emang banyak kontroversi,banyak juga yang bilang itu seperti jiplakan..tapi buatku yang paling penting sastrawangi udah punya peran dalam kesusastraan indonesia dan memang seharusnya seperti itu,tidak ada pembedaan yang terlalu gila.....hehehe
BalasHapusTe, butuh pendapat.
BalasHapusKemaren, sempat q ngobrol ama temen-temen. Begini intinya dari obrolan tersebut. Adanya feminisme, menumbuhkan pemikiran yang sedikit janggal.
contoh,dalam masyarakat, wanita tomboi dianggap biasa alias wajar. Tapi kenapa saat laki-laki melakukan kebiasaan-kebiasaan perempuan, seperti ke salon, main boneka, dianggap tidak wajar. Nah, kenapa hal itu seperti memberi sedikit gambaran ketimpangan sosial bagi laki-laki.
Gmn te?
O,ya, mampir ke blogq te...
ronyem.blogspot.com
Waduwh. Dalam sekali analisamu dan pembacaanmu yang kamu lihat di masyarakat. Ini sebenarnya bukan keistimewahan perempuan. Tapi justru refleksi besar bahwa patriarki merugikan kedua belah pihak.
BalasHapusAnaloginya seperti ini: Laki-laki adalah utama dan nomer satu, sedangkan perempuan adalah di peringkat dua. Jika perempuan menjadi tomboi dan mennyerupai laki-laki, maka dia dianggap perempuan yang mau naik tingkat dan dibenarkan oleh masyarakat. Sedangkan laki-laki yang menyerupai perempuan dianggap bodoh karena menolak hak lahir laki-laki yang lebih tinggi.Dan tahukah kau, bahwa hal ini saya alami seumur hidup.
Fenomena yang kamu potret itu menunjukkan bahwa dalam sistem patriarki dua pihak dirugikan. Karena meletakkan perempuan dalam inferioritas sama konyolnya dengan (selalu) meletakkan pria pada superioritas. Laki-laki di negara kita lelah selalu harus menjadi pribadi yang sempurna di mata perempuan.