Laman

Jumat, 16 Desember 2011

Perempuan Menulis


Masih ole-ole dari workshop ICT di Yogyakarta. Tulisan ini tentang jurnalisme, kecakapan menulis dan partisipasi perempuan dalam media. Media adalah senjata dua sisi, satu bagiannya tajam namun berguna untuk memasak dan memotong sedangkan sisi lainnya bisa melukai bahkan membunuh. Jenis-jenis media antara lain adalah media tulis cetak (buku, koran, majalah, atau teks wacana serta diskursus), maupun media elektronik (radio, televisi, video) serta media perpaduan yang menggabungkan tulisan dan gambar visual. Bahkan yang abad ini dapat diakses secara global adalah media internet (website, blog, microblog) yang menggabungkan tulisan serta gambar visual. Media adalah skrip terbesat yang menuliskan sejarah peradaban manusia. Melalui media bentuk sosial,diskursus dan opini dapat dibuat untuk menggendalikan kekuatan dan bentuk  masyarakat
.
Perempuan juga dapat memiliki akses dan terlibat dalam media. Usaha ini dianggap penting agar pengalaman empiris dapat diceritakan dari kacamata perempuan serta dapat menfasilitasi suara perempuan dalam usaha meningkatkan taraf hidup perempuan.

Analogi paling relevan yang menjadi epidemik di media adalah bagaimana media menceritakan kasus perkosaan. Kejadian tersebut seperti yang dikutip dibawah ini:

“Seorang wanita diperkosa oleh pacarnya pada saat berkencan. Awalnya tersangka mengajak pacarnya untuk berkencan di malam hari. Tersangka memaksa korban memakai rok. Korban kemudian dibawah kesebuah rumah kosong dan diperkosa sebanyak  2 kali dengan ancaman kekerasan. Kemudian korban diantar pulang, namun sebelum sampai rumah, korban diperkosa lagi dibawah jembatan sebanyak 2 kali. Setelah beberapa hari ahirnya korban berani menceritakan kepada orangtuanya dan kemudian melaporkan ke pihak berwajib”
(Dikutip bebas dari harian lokal.)

Berita perkosaan seperti yang dikutip diatas adalah berita yang secara kronologis menceritakan sensasi seksual dari serangkaian peristiwa perkosaan. Seperti dibedah dibawah ini.

Seperti dikutip dalam kalimat :
”Tersangka memaksa korban memakai rok”
Ada dua sisi yang bisa dipahami dari kalimat tersebut. Pertama adalah memberi peringatan tentang
pola pemerkosa. Kedua, pemaikaian rok dijadikan kambing hitam atas peristiwa perkosaan
Setelah itu, cerita peristiwa tersebut menceritakan tentang jumlah atau presentasi korban diperkosa dengan menggunakan tolak ukur ejakulasi laki-laki, bukan dari rasa sakit yang dialami korban. Sedangkan trauma yang dialami korban tidak diceritakan.

Contoh diatas adalah berita pemerkosaan yang sering terjadi di negara ini. Karena jumlah peristiwa perkosaan tersebut banyak, jurnalis perempuan kadang melewati berita-berita seperti ini. Penulis atau jurnalis perempuan akan menggungakan media novel atau karya ilmiah untuk menceritakan dari sisi korban. Sayangnya novel atau karya ilmiah jarang dibaca atau diakses ketimbang berita di TV atau koran.

Ada banyak tema yang bisa ditulis dan dikritisi dalam jurnalistik dan menulis. Laporan peristiwa perkosaan hanya salah satu contohnya. Dalam penulisan tersebut, jurnalis feminist  sangat dibutuhkan keterlibatan dan aksesnya sebagai bagian dari proses demokrasi di negara ini. Perempuan dapat memberdayakan diri dalam menulis dan mereportasi kejadian yang ditangkap tiap hari serta menceritakan dari sisi feminist. 

6 komentar:

  1. wah...menarik juga polapola jurnalismenya......sepakat, harus dipukul rata gak ada penutupan akses sepihak .....

    BalasHapus
  2. Wah, memang peran perempuan kini semakin terlihat di muka umum dengan jalan Feminisme.

    BalasHapus
  3. @Keset: Masih ingat awal kemunculan sastrawangi? Masyarakat mengganggap Ayu Utami, Jenar Maesa, dan lain-lain terlalu barat. Padahal itu adalah hasil dari 30 tahun perempuan dalam tekanan. Sastrawangi adalah gaung dan artifek dari masa reformasi.

    @Roman: Terima kasih sudah mampir. Feminisme memang ideology yang kenyal. Bisa masuk di manapun.

    BalasHapus
  4. iya te,awal kemunculan sastrawangi emang banyak kontroversi,banyak juga yang bilang itu seperti jiplakan..tapi buatku yang paling penting sastrawangi udah punya peran dalam kesusastraan indonesia dan memang seharusnya seperti itu,tidak ada pembedaan yang terlalu gila.....hehehe

    BalasHapus
  5. Te, butuh pendapat.
    Kemaren, sempat q ngobrol ama temen-temen. Begini intinya dari obrolan tersebut. Adanya feminisme, menumbuhkan pemikiran yang sedikit janggal.
    contoh,dalam masyarakat, wanita tomboi dianggap biasa alias wajar. Tapi kenapa saat laki-laki melakukan kebiasaan-kebiasaan perempuan, seperti ke salon, main boneka, dianggap tidak wajar. Nah, kenapa hal itu seperti memberi sedikit gambaran ketimpangan sosial bagi laki-laki.
    Gmn te?

    O,ya, mampir ke blogq te...
    ronyem.blogspot.com

    BalasHapus
  6. Waduwh. Dalam sekali analisamu dan pembacaanmu yang kamu lihat di masyarakat. Ini sebenarnya bukan keistimewahan perempuan. Tapi justru refleksi besar bahwa patriarki merugikan kedua belah pihak.
    Analoginya seperti ini: Laki-laki adalah utama dan nomer satu, sedangkan perempuan adalah di peringkat dua. Jika perempuan menjadi tomboi dan mennyerupai laki-laki, maka dia dianggap perempuan yang mau naik tingkat dan dibenarkan oleh masyarakat. Sedangkan laki-laki yang menyerupai perempuan dianggap bodoh karena menolak hak lahir laki-laki yang lebih tinggi.Dan tahukah kau, bahwa hal ini saya alami seumur hidup.
    Fenomena yang kamu potret itu menunjukkan bahwa dalam sistem patriarki dua pihak dirugikan. Karena meletakkan perempuan dalam inferioritas sama konyolnya dengan (selalu) meletakkan pria pada superioritas. Laki-laki di negara kita lelah selalu harus menjadi pribadi yang sempurna di mata perempuan.

    BalasHapus