Suatu
hari saya dan teman sedang berbincang tentang pernikahan berbeda agama. Teman
saya adalah salah satu warga negara yang menikah dengan suami yang memiliki
agama berbeda dengan agama yang dia peluk. Kami mengalami beberapa kendala
selama perbincangan. Ahirnya saya pribadi sadar bahwa kendala tersebut adalah
kendala yang biasa dialami oleh banyak orang yaitu ketidaktertiban penempatan
terminologi atau istilah yang merujuk pada makna bahasa.
Beberapa
kali teman saya menggunakan istilah “berbeda iman”, “pernikahan beda iman”, atau “kami tak
seiman” untuk menggambarkan hubungannya dengan suami. Sementara saya
menggunakan istilah pernikahan “beda agama” dalam menggambarkan pasangan yang
sebenarnya beda iman hanya tidak seagama saja.
Problematik
bahasa semacam ini memang sering terjadi, bahkan media kita banyak melakukan
kesalahan antara terminologi “Transsexual” dan “Transgender”. Tidak heran bahwa
media dan masyarakat kita misleading (tersesat) dalam istilah tersebut karena
membedakan diri yang biologis (sex) dan yang sosial (gender) saja mereka masih
kebingungan.
Hal
serupa sebenarnya juga terjadi dalam istilah “Iman” dan “Agama”. Seperti yang
dikutip oleh Carl Marx bahwa agama adalah infrastrutur, karena agama dapat
dimaterikan melalui ritus dan ritual-ritual yang dijalankan. Iman adalah
suprasruktur yang tidak dapat dikenali melalui penggindraan namun adalah hasil
dari pengindraan dan juga hasil dari infrastruktur (didapat melalui jalur ritus
dan ritual).
Saya
sengaja menggunakan istilah “beda agama” hanya karena saya percaya bahwa
pemersatu dari dua orang berbeda agama adalah persamaan iman. Pasangan yang
menikah berbeda agama belum tentu mereka memiliki iman yang berbeda.
Agama
adalah nilai fundamental yang paling tinggi di negara ini, dengan menggunakan istilah
yang tepat, kita bisa menganalisa bagaimana masyarakat di negara ini adalah
manusia yang berani beragama namun takut beriman. Bahasa merupakan media
komunikasi yang menuju pada satu makna. Melalui komunikasi linguis, manusia
membangun peradapan dan pola pikir.Selamat tertib menggunakan bahasa.
sejak SD kita diajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sejak SD pula kita tidak tahu kebenaran akan bahasa yang dipakai. menghafal itu yang didapat dari sekolah selama bertahun-tahun lamanya.
BalasHapusdan hasilnya .....
kita rasakan sendiri
Wah, te.. berbicara tentang agama atau pun iman, memang berat te...
BalasHapusMemang dua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda te.
@Maria: Gak canggih sekolahmu. Sekolahku loh sudah diajari Menulis Halus. Jadi tulisanku alus licin koyo wong setriko. Hasilnya tulisanku bagus, lihat halus kan?????!!!!
BalasHapus@Rom: Nah itu kamu sendiri bilang bahwa bicara tentang iman dan agama itu berat. Selesaikan dulu masalah itu.
Bagaiman menurut Ajeng : "apakah seseorang bisa saja punya iman tanpa agama atau iman dan agama itu adalah sesuatu yang inheren?
BalasHapusPertanyaan yang super sekali dari Yasa. Itu semua tergantung cara pandang.
BalasHapusSeperti kata Marx yang sempat saya singgung di atas, bahwa Suprastruktur bisa dilewati melalui infrastruktur. Maksudnya iman bisa dicapai melalui agama. Namun tidak jarang agama justru menjauhkan sifat Ilahii karena ditafsirkan secara kaku dan monointerprestasi.
Dalam budaya kita, hubungan antara iman dan agama yang reciprokal adalah hubungan yang ideal. Dan karena itu agama menjadi nilai yang paling tinggi di negara kita.
Namun ada juga yang melampai agama untuk menuju iman. Jadi agama hanya dijadikan kendaraan atau sistem kerangka berpikir.
Contoh paling besar yang kita semua kenal adalah Santa Teresha dari Kalkuta. Diahir hayatnya beliau berujar "I'm loosing my religion"
Menurut kamus Bahasa Indonesia
BalasHapusAgama : ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan YME serta tata kaidah yg berhubungan dng pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya: -- Islam; -- Kristen; -- Buddha.
Iman : (1) Kepercayaan (yg berkenaan dgn agama); (2) ketetapan hati,keteguhan batin,keseimbangan batin.
Mungkin kita harus lebih sering membuka kamus bahasa kita sendiri di banding bahasa lain ya! Sehingga tidak sering salah menginterpretasikan arti/makna kata.
oh iya jeng...cerita teman mu yang nikah beda agama itu jadinya gimana ?? *hehehee.. penasaran* ku pikir ada kelanjutannya setelah baca paragraf pertama diatas.. :-)))
Ini MIDHA... gw pake anonymous soale coba koment pake wordpress gw gak mau2 terpost...bete deh !
Untuk midha aku hanya mengutarakan satu kelimat.....
Hapus"kalo udah jodoh gak bakal kemana... gak usah panik, bu"
Aku jadi pendukungmu yang no 1 deeeeeh.
eh aku banyak teman yang menikah beda agama... ngiri aja mereka bisa mesra bahkan udah anak3 trus anaknya yang kedua itu sohibku. jadi mereka itu udah bertahun nikah bertahun-tahun mulai tirex belum lahir
Apa mungkin berbeda aqidah, tidak seaqidah
BalasHapusSaya tidak memahami bahasa secara makna yang mendalam, saya hanya bisa berbahasa
ulasan yang menarik mbak
Terima kasih saya malah kurang paham Aqah sepertinya Aqidah lebih spesifik lagi dari pada agama
BalasHapusDibimbing ya, aku minta teoritikal frameworknya juga. Termasuk buku-buku. Aku sudah mulai mumet kalo dikasih Deridra dan teman-temannya. Sejak kerja praktis jadi jarnag mbaca.
BalasHapusBantu kasih materi biar aku bisa tulis ulang, mas. Ben rapi kerangka berpikirku.