Laman

Senin, 25 Juli 2011

Diskriminasi Sebesar Upil

Saya yakin bahwa dalam menyelesaikan masalah orang lain maka saya harus selesai dengan diri saya sendiri terlebih dahulu, karena dengan selesai dengan masalah sendiri saya dan lingkungan saya dapat bersama-sama tumbuh sebagai mahkluk yang sadar dan setara. Saya sudah menyelesaikan masalah coming out, sejak usia 21 tahun. Saya sadar dengan orientasi sex dan kesadaran gender yang saya hayati. Sejak saat itu, saya sudah mendeklarasikan nama perempuan saya dan meninggalkan nama lelaki saya yang saya anggap sebagai nama budak. Walaupun sampai saat ini, ada beberapa teman dari masa lalu atau anggota keluarga yang memanggil nama budak saya. Hal yang sampai sekarang belum saya lakukan adalah crossdressing atau memakai pakaian perempuan. Dalam beraktifitas sehari-hari, saya cenderung memakai pakaian unisex, namun pakaian dan potongan rambut serta prilaku feminim saya masih sering mendapat teguran terutama dari lingkungan keluarga padahal mereka tahu pilihan hidup saya.
Di kampus, sekitar 78% dosen sudah memanggil nama perempuan saya, bahkan kedua dosen pembimbing saya memanggil saya “Nduk” (panggilan untuk anak perempuan dalam budaya Jawa). Pernah dalam suatu kuliah yang saya tempuh, saya absen dari kelas karena ada urusan. Dosen pengampuh melihat-lihat sekeliling dan berkata “Mana teman kalian yang banci, ada yang tinggi bencong itu. Kasian dia ya. Menurut saya keluarganya harus dianalisa.” Langsung teman-teman saya memberitahu saya keesokan harinya. Sementara teman yang lain justru marah kepada teman yang melapor karena alasan takut menyakiti diri saya. Anehnya, respon saya waktu semua terjadi justru adalah kaget dengan respon teman-teman saya yang melapor kepada saya dan yang melindungi diri saya dari (super) kekerasan verbal yang membuat rasa tidak nyaman pada saya. Tentu saya marah luar biasa dengan dosen saya. Namun, rasa kagum saya terhadap teman-teman sekelas baik yang pria maupun perempuan sudah cukup mewakili adanya pergerakan kesadaran gender dan kesetaraan yang kami coba bangun di setiap kegiatan akademis di kelas maupun di dalam kelas. Beberapa teman yang abstein dengan peristiwa ini terlihat lebih banyak senyum dan
menyapa saya dalam usaha mereka membuat suasana hati saya aman di dalam kampus. Semua yang dilakukan teman-teman saya sangat saya hargai.
Kejadian kedua adalah saat saya dan keempat teman sedang diruang dosen untuk mengurus skripsi. Kami harus antri untuk mengurusi administrasi terlebih dahulu. Pada saat giliran saya di depan meja administrasi, seorang dosen yang selalu dianggap pintar dan humanis berdiri mengahampiri keempat teman saya. Dosen tersebut menanyakan tema skripsi dari teman-teman saya. Mereka berdiri membuat lingkaran penuh sebagai tanda dari satu komunitas yang sedang berdialog seru. Setelah saya selesai dengan urusan administrasi, saya berniat masuk dalam lingkaran tersebut untuk ikut bergabung. Namun yang terjadi adalah posisi saya dihalangi dengan cara dosen tersebut maju untuk memperkecil lingkaran. Saya tidak mendapat akses masuk dalam lingkaran dan berdiri di belakang salah satu teman. Lebih parah lagi, dosen tersebut tidak menanyakan tentang skripsi saya. Dia tidak mengajak saya bicara sama sekali bahkan dengan sengaja tidak membuat kontak mata walaupun saya ada di depan dia.
Bagi saya, dosen yang pertama adalah musuh yang konkrit. Saya memiliki ruang gerak yang luas untuk melaporkan tindakannya yang bersifat bulliying. Tindakan dosen yang pertama justru mendapat respon yang konkrit pula dari teman-teman. Namun, musuh besar saya adalah dosen nomer dua. Kekuatannya abstrak dan tidak dapat dilihat oleh pengindraan sederhana. Tindakan dari dosen nomer dua justru tidak disadari oleh teman-teman, dan saya tidak punya data lengkap untuk mengungkapkan ketidaknyamanan saya.
Tentu saja saya berinisiatif melawan diskriminasi tersebut habis-habisan karena saya tidak bisa tinggal diam dengan kedua perilaku tersebut. Saya tidak bisa dan mungkin tidak perlu mengorganisasi rekan-rekan mahasiswa untuk turun ke jalan. Cara yang saya lakukan adalah melakukan self-hipnosis dan self-terapi agar dapat mengendalikan marah sehingga saya bisa tetap datang ke kampus dan mengikuti kuliah kedua dosen tersebut dengan hati yang ringan. Dengan cara itu saya tahu masalah besar saya bukanlah mereka, tapi masalah besar mereka adalah kebodohan. Karena kemunafikan adalah kebodohan bagi orang-orang yang tidak tahu nikmatnya kebenaran. Sampai tulisan ini saya buat, saya masih menyelesaikan skripsi. Saya sering datang ke kampus tanpa meresa terintimidasi dan harus merasa panik. Pengaruh yang saya dapat adalah, sampai hari ini saya masih jadi mahasiswa yang aktif dengan Indeks Prestasi yang memuaskan dan saya tetap bisa berekspresi dengan lingkungan sosial di kampus tanpa harus merasa menjadi mahasiswi yang inferior.

10 komentar:

  1. Kamu berprelude "Saya yakin bahwa dalam menyelesaikan masalah orang lain maka saya harus selesai dengan diri saya sendiri terlebih dahulu", tapi lalu kamu ber epilog "Dengan cara itu saya tahu masalah besar saya bukanlah mereka, tapi masalah besar mereka adalah kebodohan". ko nda sinkron ya diayu??. Heehehe..kata bang idin yang terpenting adalah menjadi Intelektual Paham dan bukan intelektual Pintar, beliau beruda tentu tidak bodoh, hanya belum paham saja, mungin bagi beliau berdua memahami kamu sama sulitnya seperti kamu memahami beliau berdua. Bukankah lebih baik menjadi jembatan?, after all, you will find those people for years to come. Apa yg kiranya seorang ibu lakukan saat anaknya membantah nya?, i m sure you fully understands, you are mother for your students, anggap saja beliau berdua murid muridmu yang belum sampai pada tahap memahami sebuah pilihan hidup, how strange it is for them. Bukannya seperti kamu bilang padaku?, tidak perlu marah, kita tidak bisa memaksakan, begitu katamu dulu. Hehehe.... sewajibnya mungkin bagi kamu, aku, dan kita atau kami yang mengaku humanis untuk menempatkan beliau berdua pada posisi yang paling humanis untuk bisa di perlakukan secara humanis. mengkutubkan diri aku rasa bukan jawaban, beliau berdua juga berhak untuk dimengerti dan di pahami, hehe..dan aku rasa yang mampu dalam kapasitas itu adalah aku, kamu, kita, dan kami yang mengaku humanis. Dan semakin lah kita tau bahwa kedewasaan bukan tentang jumlah ucapan hepi b'day yang telah terlewat. Aku, Kamu, Kita dan Kami yang mengaku humanis memperoleh kapasitas lebih untuk sekali lagi mencoba memahami. Begitu bukan diayu? NB : beliau yang kedua siapa to? yang pertama sudah bisa mengira..hehe..live high for you dear one ^^

    BalasHapus
  2. Rumit, memang. Begitulah yang terjadi. Aku mengalami diskriminasi berlapis seperti kriminal yang masuk penjarah untuk disembuhkan, tapi di Lapas malah diorganisir kejahatan itu. Itulah mengapa aku menggambarkan mereka "bodoh" mungkin seharusnya aku bilang mereka "bebal" tahu tapi tidak mau bertindak.Lalu bagaimana aku mendidik orang-orang bebal?

    BalasHapus
  3. Aku marah pada kemunafikan dan pilihan hidup untuk tetap munafik

    BalasHapus
  4. itu artinya kamu belum selesai dengan dirimu sendiri. Aku tau sulit bagimu..lalu apa yg kauinginkan dari tindakan mereka?? Bagaimanapun perlu kau ingat bahwa kita hidup di indonesia, jawa pula, jangan terlalu jumawa, terkadang itu menyebabkan kita lupa, lupa membawa kehancuran. Sebagai kaum muda, kita harus bersabar tapi tidak diam, ilmu dan pemahaman itu cair, jadilah media yang paling dinamis untuk bisa mewadahinya. Ini adalah pilihan hidupmu, kamu memilihnya secara sadar, artinya kamu paham akan konsukuensinya, salah satunya adalah diskriminasi itu. Menuruku marah bukanlah jalan keluar, ekses sentimental mungkin memang benar iya, tapi cobalah berpikir integral. Pilihanmu mungkin sulit diterima oleh orang2 terdekatmu atau mungkin orang orang lain. kesempatanmu untuk bertemu dengan orang2 bebas seperti kami kami yang dapat memahami dan menghormati pilihanmu bukan sesuatu yang bisa datang kapan saja, kamu harus siap dengan segala diskriminasi, siap dengan orang orang seperti mereka. Berhenti bicara tentang kemunafikkan hidup, terkadang itu satu satunya cara untuk hidup. Jika kau berpendapat bahwa orang2 itu bebal, apa kiranya pendapat orang2 itu tentang kamu? Bebal?. Aku lebih berpikir engkau sebagai individu bebas yang bebas memilih jalan hidup, dan tidak semua orang berpikiran begitu. Ingat, engkau yang mengajariku begitu. Aku harap tulisanmu ini hanya sebatas aktifitas hormonal yang membuat emosimu tidak stabil, jika bukan maka aku kehilangan dirimu yang bijak.

    BalasHapus
  5. Aku marah pada kolektifitas kemarahan yang tidak bisa kukendalikan

    BalasHapus
  6. baca ini rasanya aku pengen peluk kakak

    BalasHapus
  7. Iraaaaaa...... aduuuuh kamu halus banget.
    nanti November kita peluk-pelukan foto-fotoan.
    missssssss u

    BalasHapus
  8. kangen kakak juga :) aku kadang random sebelum tidur kebayang waktu kakak nyanyi "MUHAMMADKU MUHAMMADKUUUUUUU" berkali-kali :) Masih ingat banget suara kakak sama gerakan tubuh kakak waktu itu hihi

    BalasHapus
  9. Aku suka tulisan ini, teman SMA-ku...

    BalasHapus
  10. Terima kasih sudah membaca dan mampir Iwan Damai. Semoga kamu bisa paham tentang konflikku semosa SMA dulu dan mengapa aku mengisolasi diri. Kalau sekarang aku jadi seperti ini. Itu karena proses yang panjang. Semoga tulisan ini menjadi idealismemu selama bertugas.
    Damai selalu Iwan Damai.

    BalasHapus