Laman

Kamis, 19 Desember 2013

Benda Tak Asing yang Iseng

Sudah sejak kecil kami perempuan selalu diajarkan untuk menjaga diri. Perempuan dibesarkan dengan narasi agar pintar-pintar melindungi tubuh, menutupi tubuh, awas dengan keadaan sekitar dan membatasi diri dengan pergaulan dan jam keluar rumah.

Adalah waktu sekolah menengah atas hingga kuliah ketika peristiwa tentang eksebisionis banyak dialami oleh teman-teman. Teman-teman yang sudah dipertunjukkan alat kelamin oleh para perlaku eksebisionis berkumpul-kumpul, lantas mereka sebagai korban mulai berbagi cerita mengenali pola pelaku dan area tempat mereka melakukan aksi mempertonton satu-satunya benda yang sepertinya mereka miliki dalam hidupnya. Untuk menghindari kemunculan monster ini, kami harus berjalan berkelompok. Namun cara ini tidak bisa dibilang berhasil, lebih karena eksebisionis ini justru mendapat harga diri yang tinggi jika sekelompok perempuan yang dia takuti menjerit secara beramai-ramai.

Kami mulai menghindar beberapa jalan tikus yang sebenarnya menjadi jalan singkat agar bisa sampai dari rumah/rumah kost ke kampus. Bagi saya pribadi, cara ini adalah kekalahan kami paling besar. Secara telak kami mengaku kalah karena kami membiarkan hak untuk mendapat akses jalan terampas.

Namun kami masih berkumpul-kumpul dan membicarakan dikantin-kantin, diantara diskusi kampus, sebelum dan selesai kuliah. Dari seorang teman yang belajar psikolog, kami mendapat saran bahwa eksebisionis memang akan mendapat harga diri ketika penis yang dia pertontonkan mendapat respon ketakutan dari korbannya. Untuk alasan itu, kami tidak dianjurkan untuk ketakutan maupun menjerit ketika pelaku melakukan aksinya, alih-alih kami harus menertawakan kemaluannya.

Kalian teriak saja, “Kontolmu item!!!!!!! Kontolmu cilik (kecil)!!!!! Lebih gede punya adeeeeekkku!!!!” dan hal-hal yang akan menurunkan derajat kontolnya….eeehhhh derajat dirinya maksud saya.
Dari saran ini sebenarnya saya berfikir lebih jauh. Mengapa tidak kita ambil batu dan sambit atau lempar ke(tidak)maluannya.

***

Tiga semester selanjutnya, cerita-cerita di kampus mulai berubah. Beberapa teman yang pulang kampus secara bersamaan mempraktekkan teriakan-teriakan dan ejekan-ejekan kepada ke(tidak)maluan pelaku. Kemudian mereka melaporkan bahwa setelah diolok-olok ternyata pelaku cenderung mundur dan takut. Cara ini dianggap berhasil. Memang benar karena beberapa waktu berlalu, pelan-pelan pelaku tidak lagi pernah muncul.

Kemana perginya dia? Bukankah ada 3 kampus besar di daerah saya berasal? Lalu mengapa kita tidak bisa melihat dia secara utuh? Di dalam penjara maksud saya. Maksud saya tindakannya bisa dikriminalisasikan.

Tapi kami senang, jalan tikus sudah bisa kami akses, dan kami mulai berani pulang malam. Sampai ahir masa kuliah, saya tidak pernah mengalami kejadian dilecehkan oleh pelaku eksebisionis, namun dari pelajaran teman-teman, saya tahu bahwa jurus paling jitu adalah menertawakan penisnya.

***

Tapi hari test uji kehidupan itu ahirnya datang juga.
Tidak lama, 2 bulan lalu. Saya diatas motor menuju rumah melewati tempat yang hampir setiap hari saya lewati. Jalan ini ramai dengan rumah penduduk dan warung-warung di tepi jalan. Namun ada juga lapangan sekitar separuh hektar yang sedikit lebih sepi. Waktu itu masih menunjukkan pukul 12 siang. Seorang pengendara motor lainnya membuntuti di sebelah kanan. Saya tidak terlalu memperhatikan jauh-jauh sebelumnya di kaca spion. Saya berpikir, sama seperti jika dibarengi di sebelah kanan, pengendara ini akan mengingatkan tentang kekeliruan yang ada di motor saya, entah itu ban yang mengempis, atau plat nomor yang akan copot.

Pengendara ini memegang kendali stang dengan tangan kanannya saja, kemudian kepalanya menunduk-nunduk ke bagian bawah. Spontan saja saya mengalihkan pandangan lebih kebawah, dengan motor saya yang masih melaju dan motor orang tersebut mengendalikan kecepatan sama seperti kecepatan motor saya.

Terkejut saya kemudian bahwa tangan kiri si pengendara sedang merancap batang pelirnya. Setengah detik kejadian itu, yang saya lakukan hanya melotot, berjingkat karena terkejut, kemudian cepat-cepat saya menoleh ke depan jalan sambil mengurangi kecepatan sepeda motor.

Kalo boleh beralasan, keputusan yang saya ambil sebenarnya adalah lari. Saya tidak menunjukkan bahwa saya takut dan menjerit, sehingga saya tidak memberinya harga diri terhadap prilakunya. Selain itu, usaha saya memperlambat laju motor adalah usaha saya untuk membiarkan si pelaku lewat begitu saja. Intinya adalah saya mengabaikan. Saya takut bahwa dengan meneriaki si pelaku, maka dia akan menyerang diri saya lebih brutal, sementara saya ingin tubuh saya tetap utuh.

Kemudian saya sadar, bahwa saya salah tidak melawan. Sesampai dirumah saya merasa bahwa seharusnya saya bisa melakukan lebih. Saya bisa saja ambil batu dan melemparnya, berteriak “jambret” agar dia dihukum masa, atau hal yang paling bodoh adalah saya bisa menghafal plat nomer dan merek kendaraannya lalu memposting di sosial media network atau melapor ke polisi.

Tapi semua teori bekal semasa kuliah dulu tiba-tiba hilang karena saya ingin mengamankan diri dari terluka. Benar tubuh saya utuh seperti yang saya inginkan. Tapi bagaimana dengan perasaan saya, apakah juga masih sebahagia sebelumnya? Tidak. Tidak ada bedanya dengan perkosaan. Eksebisionis ini dilakukan seolah-oleh saya memintanya, sepertinya saya menikmatinya, hingga kemudian tindakan tidak nyaman ini mustahil dikriminalisasikan dalam budaya kita yang mengganggap perkosaan adalah perkara serangan fisik belaka dan harus berdarah.

Tapi ketahuilah bentuk lukanya, saya masih sangat ingat semua detail kejadian. Sepertinya otak saya mencatat dengan visual grafis yang lengkap dan kompleks. Bahwa siang itu, di tempat itu, ada laki-laki diatas motor berwarna hijau, yang saya lupa merek motornya karena saya perempuan, dan saya ingat sekali bentuk penis yang dia pamerkan. Dan saya tidak menikmatinya.


Saya tidak akan lupa, seperti saya tidak akan pernah habis menyesal tidak melakukan serangan balik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar