Sudah sejak
kecil kami perempuan selalu diajarkan untuk menjaga diri. Perempuan dibesarkan
dengan narasi agar pintar-pintar melindungi tubuh, menutupi tubuh, awas dengan
keadaan sekitar dan membatasi diri dengan pergaulan dan jam keluar rumah.
Adalah
waktu sekolah menengah atas hingga kuliah ketika peristiwa tentang eksebisionis
banyak dialami oleh teman-teman. Teman-teman yang sudah dipertunjukkan alat
kelamin oleh para perlaku eksebisionis berkumpul-kumpul, lantas mereka sebagai
korban mulai berbagi cerita mengenali pola pelaku dan area tempat mereka
melakukan aksi mempertonton satu-satunya benda yang sepertinya mereka miliki
dalam hidupnya. Untuk menghindari kemunculan monster ini, kami harus berjalan
berkelompok. Namun cara ini tidak bisa dibilang berhasil, lebih karena
eksebisionis ini justru mendapat harga diri yang tinggi jika sekelompok
perempuan yang dia takuti menjerit secara beramai-ramai.
Kami mulai
menghindar beberapa jalan tikus yang sebenarnya menjadi jalan singkat agar bisa
sampai dari rumah/rumah kost ke kampus. Bagi saya pribadi, cara ini adalah
kekalahan kami paling besar. Secara telak kami mengaku kalah karena kami
membiarkan hak untuk mendapat akses jalan terampas.
Namun kami
masih berkumpul-kumpul dan membicarakan dikantin-kantin, diantara diskusi
kampus, sebelum dan selesai kuliah. Dari seorang teman yang belajar psikolog,
kami mendapat saran bahwa eksebisionis memang akan mendapat harga diri ketika
penis yang dia pertontonkan mendapat respon ketakutan dari korbannya. Untuk
alasan itu, kami tidak dianjurkan untuk ketakutan maupun menjerit ketika pelaku
melakukan aksinya, alih-alih kami harus menertawakan kemaluannya.
Kalian teriak
saja, “Kontolmu item!!!!!!! Kontolmu cilik (kecil)!!!!! Lebih gede punya
adeeeeekkku!!!!” dan hal-hal yang akan menurunkan derajat kontolnya….eeehhhh
derajat dirinya maksud saya.
Dari saran
ini sebenarnya saya berfikir lebih jauh. Mengapa tidak kita ambil batu dan
sambit atau lempar ke(tidak)maluannya.
***
Tiga
semester selanjutnya, cerita-cerita di kampus mulai berubah. Beberapa teman
yang pulang kampus secara bersamaan mempraktekkan teriakan-teriakan dan
ejekan-ejekan kepada ke(tidak)maluan pelaku. Kemudian mereka melaporkan bahwa
setelah diolok-olok ternyata pelaku cenderung mundur dan takut. Cara ini
dianggap berhasil. Memang benar karena beberapa waktu berlalu, pelan-pelan
pelaku tidak lagi pernah muncul.
Tapi kami
senang, jalan tikus sudah bisa kami akses, dan kami mulai berani pulang malam.
Sampai ahir masa kuliah, saya tidak pernah mengalami kejadian dilecehkan oleh
pelaku eksebisionis, namun dari pelajaran teman-teman, saya tahu bahwa jurus
paling jitu adalah menertawakan penisnya.
***
Tapi hari
test uji kehidupan itu ahirnya datang juga.
Tidak lama, 2 bulan lalu. Saya diatas motor menuju rumah melewati tempat yang hampir setiap hari saya lewati. Jalan ini ramai dengan rumah penduduk dan warung-warung di tepi jalan. Namun ada juga lapangan sekitar separuh hektar yang sedikit lebih sepi. Waktu itu masih menunjukkan pukul 12 siang. Seorang pengendara motor lainnya membuntuti di sebelah kanan. Saya tidak terlalu memperhatikan jauh-jauh sebelumnya di kaca spion. Saya berpikir, sama seperti jika dibarengi di sebelah kanan, pengendara ini akan mengingatkan tentang kekeliruan yang ada di motor saya, entah itu ban yang mengempis, atau plat nomor yang akan copot.
Tidak lama, 2 bulan lalu. Saya diatas motor menuju rumah melewati tempat yang hampir setiap hari saya lewati. Jalan ini ramai dengan rumah penduduk dan warung-warung di tepi jalan. Namun ada juga lapangan sekitar separuh hektar yang sedikit lebih sepi. Waktu itu masih menunjukkan pukul 12 siang. Seorang pengendara motor lainnya membuntuti di sebelah kanan. Saya tidak terlalu memperhatikan jauh-jauh sebelumnya di kaca spion. Saya berpikir, sama seperti jika dibarengi di sebelah kanan, pengendara ini akan mengingatkan tentang kekeliruan yang ada di motor saya, entah itu ban yang mengempis, atau plat nomor yang akan copot.
Pengendara
ini memegang kendali stang dengan tangan kanannya saja, kemudian kepalanya
menunduk-nunduk ke bagian bawah. Spontan saja saya mengalihkan pandangan lebih
kebawah, dengan motor saya yang masih melaju dan motor orang tersebut
mengendalikan kecepatan sama seperti kecepatan motor saya.
Terkejut
saya kemudian bahwa tangan kiri si pengendara sedang merancap batang pelirnya. Setengah
detik kejadian itu, yang saya lakukan hanya melotot, berjingkat karena
terkejut, kemudian cepat-cepat saya menoleh ke depan jalan sambil mengurangi
kecepatan sepeda motor.
Kalo boleh
beralasan, keputusan yang saya ambil sebenarnya adalah lari. Saya tidak
menunjukkan bahwa saya takut dan menjerit, sehingga saya tidak memberinya harga
diri terhadap prilakunya. Selain itu, usaha saya memperlambat laju motor adalah
usaha saya untuk membiarkan si pelaku lewat begitu saja. Intinya adalah saya
mengabaikan. Saya takut bahwa dengan meneriaki si pelaku, maka dia akan
menyerang diri saya lebih brutal, sementara saya ingin tubuh saya tetap utuh.
Kemudian
saya sadar, bahwa saya salah tidak melawan. Sesampai dirumah saya merasa bahwa
seharusnya saya bisa melakukan lebih. Saya bisa saja ambil batu dan
melemparnya, berteriak “jambret” agar dia dihukum masa, atau hal yang paling
bodoh adalah saya bisa menghafal plat nomer dan merek kendaraannya lalu
memposting di sosial media network atau melapor ke polisi.
Tapi semua
teori bekal semasa kuliah dulu tiba-tiba hilang karena saya ingin mengamankan
diri dari terluka. Benar tubuh saya utuh seperti yang saya inginkan. Tapi
bagaimana dengan perasaan saya, apakah juga masih sebahagia sebelumnya? Tidak.
Tidak ada bedanya dengan perkosaan. Eksebisionis ini dilakukan seolah-oleh saya
memintanya, sepertinya saya menikmatinya, hingga kemudian tindakan tidak nyaman
ini mustahil dikriminalisasikan dalam budaya kita yang mengganggap perkosaan
adalah perkara serangan fisik belaka dan harus berdarah.
Tapi
ketahuilah bentuk lukanya, saya masih sangat ingat semua detail kejadian.
Sepertinya otak saya mencatat dengan visual grafis yang lengkap dan kompleks.
Bahwa siang itu, di tempat itu, ada laki-laki diatas motor berwarna hijau, yang
saya lupa merek motornya karena saya perempuan, dan saya ingat sekali bentuk
penis yang dia pamerkan. Dan saya tidak menikmatinya.
Saya tidak
akan lupa, seperti saya tidak akan pernah habis menyesal tidak melakukan
serangan balik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar