Bergegas saya
mengambil nomor antrian di mesin kotak, pagi hari yang masih pukul sepuluh.
Langit di sebelah utara murung karena mendung, membuat waktu sepertinya masih
pukul enam pagi. Kertas yang keluar memberitahukan bahwa saya ada pada antrian
547. Lekas-lekas saya melihat nomor yang sedang dilayani. Masih nomor 243.
Kemudian saya lanjutkan dengan menghitung jumlah pelayanan pelanggan. Ada 5
orang yang melayani, dengan data yang masuk saya bisa menghitung berapa lama
sampai saya nantinya akan mendapat giliran.
(547-243) : 5 = 60
Anggap saja butuh 60 nomor kedepan jika hanya ada 1 pelayanan.
Jika tiap pelanggan dilayani selama 2 menit maka waktu yang dibutuhkan untuk
menunggu adalah
60 X 2 = 120 menit
atau 2 jam.
Di dalam gedung ber AC
dan ratusan orang, waktu seperti berjalan lambat. Semua seperti murung entah
mungkin karena mendung dari Utara sudah mulai mendekat. Saya sudah melewati 30
menit dan ternyata semua angka tadi meleset. Tiap pelanggan dilayani lebih dari
10 menit, walaupun ada juga beberapa nomor yang kosong dan terlewati. Membuat
semua jadi tidak bisa dikalkulasi.
Tidak lama kemudian
semua jadi kacau dan waktu didalam gedung berjalan sama dengan waktu di luar
sana, namun menyadari bahwa ada banyak tugas di luar sana yang harus ditunda
membuat semua waktu di dalam maupun di luar gedung sama-sama berhenti. Saya
tidak mempersiapkan hari ini. Bahkan saya tidak membawa buku atau koran bacaan
untuk curang dari waktu.
Saya memutuskan keluar
gedung untuk merokok sambil melihat langit yang sekarang sudah gelap mendung.
Baru saja rokok terbakar setengah sebatang, tiba-tiba dari jauh seorang tukang parkir
menuju ke arah saya. Badannya besar dan kulitnya hitam terbakar matahari yang
tidak setiap hari mendung seperti hari ini. Dia tersenyum seolah-olah dibuat
manis. Saya tetap santai duduk sambil merokok.
Sudah sebulan ini saya
bergabung dengan kelompok bela diri, kami berlatih setiap seminggu sekali
. Bukan padepokan bela diri resmi bersertifikat dengan anggota harus mengikuti audisi, dan ada ujian agar warna sabuk menjadi semakin gelap tanda kelas dan tingkat keahlian. Kelas kami terdiri dari remaja putri seperti saya (hiaaaaaa…. Siap-siap ditimpuk), bahkan ada juga transgender ataupun gay atau laki-laki yang secara fisik terlihat kecil ataupun kurus. Tidak ada kekekaran dalam kelas kami kecuali sang pelatih.
. Bukan padepokan bela diri resmi bersertifikat dengan anggota harus mengikuti audisi, dan ada ujian agar warna sabuk menjadi semakin gelap tanda kelas dan tingkat keahlian. Kelas kami terdiri dari remaja putri seperti saya (hiaaaaaa…. Siap-siap ditimpuk), bahkan ada juga transgender ataupun gay atau laki-laki yang secara fisik terlihat kecil ataupun kurus. Tidak ada kekekaran dalam kelas kami kecuali sang pelatih.
Kami berkumpul karena
kami sadar bahwa perempuan (remaja putri kayak saya), transgender dan
homoseksual adalah kamunitas yang rentan terhadap serangan dan kekerasan
seksual. Sementara tidak banyak perkumpulan bela diri yang mau menerima
(dengan baik) keikutsertaan pribadi dengan beragam SOGIE.
Kelas pertama dimulai
dengan diskusi bersama tentang perspektif terhadap kerentanan kekerasan di tempat umum serta seberapa penting dan bisa perlawanan dilakukan. Saya pribadi pernah dipertontonkan benda tumpul-nya
seorang eksebisionist dan tidak tahu cara melawan. Saya merasa melawan akan
berdampak lebih parah karena predator bisa saja melakukan aksi yang lebih kejam
atau pembunuhan (bukan mustahil melihat angka kriminal di negara yang ibu
negaranya Bulat Sempurna).
Melalui diskusi
bersama, pelatih yang juga pemateri serta kami sebagai anggota sadar bahwa penyerang juga sama seperti kita. Mereka juga manusia dan sangat
berkemungkinan mereka juga penakut, terlebih jika mengetahui bahwa korbannya
melawan. Korban sangat diperbolehkan melawan, selama itu bersifat melindungi
diri. Setelah itu, korban tidak perlu membantai atau membunuh pelaku kejahatan.
Karena setelah penjahat lengah atau lemas atau kesakitan, korban bisa lari
dengan luka minimal dan uang masih utuh (AMIN….atau mengambil uang perampok
tersebut).
Kami berlatih memukul,
menendang, mengefektifkan serangan, membuat serangan memiliki efek distruksi
yang besar, serta lepas dari jeratan atau cengkeraman. Bahkan belajar
memelototi musuh dan bicara dengan intonasi yang intimidatif. Sangat
bertentangan dengan budaya di negara ini, dimana perempuan dituntut untuk
berpakaian yang tidak mengundang syahwat, bertingkah lemah lembut (bukan
lelembut) agar dikasihani dan tidak disakiti, atau tidak diperkenankan pulang
malam serta membatasi diri dari ranah publik. Pada tingkat tertentu, kita
perempuan dituntut untuk nurut dan mengganggap tubuh sebagai akar masalah.
Latihan fisik memang
kegiatan yang membutuhkan waktu dan energi lebih. Namun entah kenapa, diantara
kelelahan tersebut ada juga perubahan cara pandang yang ahirnya juga merubah
prilaku. Saya tidak pernah sadar bahwa tubuh (perempuan) bisa jadi senjata yang
sangat mematikan. Bahwa tubuh (perempuan) sebagai subjek dapat melakukan aksi,
bukannya menjadi objek atas penyebab sebuah aksi.
Tukang parkir itu ada
satu jangkauan pukulan di depan saya. Mata saya tetap bertemu dengan mata dia
yang warna putihnya sudah mulai keruh. Ini cara saya menandai daerah kekuasaan,
mirip anjing yang mengencingi pohon. Dalam hati saya berkata, “Ini wilayah
saya, bapak ada perlu?”
Dia tersenyum merogoh
saku celana sebelah kiri, sambil tersenyum namun matanya sudah tidak sejajar
dengan mata saya. Dia tiba-tiba mengeluarkan bola kertas yang terbuat dari
kertas-kertas kecil yang tercabik-cabik.
Dia menawarkan
tangannya lebih dekat ke mata saya dan berkata “Ini mbak, daripada nanti nunggu
lama.”
Sebuah kertas antrian
dengan nomor 361.
Segera dia pergi menuju
parkiran tanpa memintah imbalan. Tiba-tiba langit gelap yang sudah sampai
diatas kepala sepertinya menjadi cerah.
Rokok saya sudah
habis. Saya bergegas masuk gedung melihat nomor antrian yang sedang dilayani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar