Laman

Selasa, 21 Januari 2014

Serangan Mendadak

Bergegas saya mengambil nomor antrian di mesin kotak, pagi hari yang masih pukul sepuluh. Langit di sebelah utara murung karena mendung, membuat waktu sepertinya masih pukul enam pagi. Kertas yang keluar memberitahukan bahwa saya ada pada antrian 547. Lekas-lekas saya melihat nomor yang sedang dilayani. Masih nomor 243. Kemudian saya lanjutkan dengan menghitung jumlah pelayanan pelanggan. Ada 5 orang yang melayani, dengan data yang masuk saya bisa menghitung berapa lama sampai saya nantinya akan mendapat giliran.

(547-243) : 5 = 60

Anggap saja butuh 60  nomor kedepan jika hanya ada 1 pelayanan. Jika tiap pelanggan dilayani selama 2 menit maka waktu yang dibutuhkan untuk menunggu adalah

60 X 2 = 120 menit atau 2 jam.

Di dalam gedung ber AC dan ratusan orang, waktu seperti berjalan lambat. Semua seperti murung entah mungkin karena mendung dari Utara sudah mulai mendekat. Saya sudah melewati 30 menit dan ternyata semua angka tadi meleset. Tiap pelanggan dilayani lebih dari 10 menit, walaupun ada juga beberapa nomor yang kosong dan terlewati. Membuat semua jadi tidak bisa dikalkulasi.

Tidak lama kemudian semua jadi kacau dan waktu didalam gedung berjalan sama dengan waktu di luar sana, namun menyadari bahwa ada banyak tugas di luar sana yang harus ditunda membuat semua waktu di dalam maupun di luar gedung sama-sama berhenti. Saya tidak mempersiapkan hari ini. Bahkan saya tidak membawa buku atau koran bacaan untuk curang dari waktu.

Saya memutuskan keluar gedung untuk merokok sambil melihat langit yang sekarang sudah gelap mendung. Baru saja rokok terbakar setengah sebatang, tiba-tiba dari jauh seorang tukang parkir menuju ke arah saya. Badannya besar dan kulitnya hitam terbakar matahari yang tidak setiap hari mendung seperti hari ini. Dia tersenyum seolah-olah dibuat manis. Saya tetap santai duduk sambil merokok.

Sudah sebulan ini saya bergabung dengan kelompok bela diri, kami berlatih setiap seminggu sekali
. Bukan padepokan bela diri resmi bersertifikat dengan anggota harus mengikuti audisi, dan ada ujian agar warna sabuk menjadi semakin gelap tanda kelas dan tingkat keahlian. Kelas kami terdiri dari remaja putri seperti saya (hiaaaaaa…. Siap-siap ditimpuk), bahkan ada juga transgender ataupun gay atau laki-laki yang secara fisik terlihat kecil ataupun kurus. Tidak ada kekekaran dalam kelas kami kecuali sang pelatih.

Kami berkumpul karena kami sadar bahwa perempuan (remaja putri kayak saya), transgender dan homoseksual adalah kamunitas yang rentan terhadap serangan dan kekerasan seksual. Sementara tidak banyak perkumpulan bela diri yang mau menerima (dengan baik) keikutsertaan pribadi dengan beragam SOGIE.

Kelas pertama dimulai dengan diskusi bersama tentang perspektif terhadap kerentanan kekerasan di tempat umum serta seberapa penting dan bisa perlawanan dilakukan. Saya pribadi  pernah dipertontonkan benda tumpul-nya seorang eksebisionist dan tidak tahu cara melawan. Saya merasa melawan akan berdampak lebih parah karena predator bisa saja melakukan aksi yang lebih kejam atau pembunuhan (bukan mustahil melihat angka kriminal di negara yang ibu negaranya Bulat Sempurna).

Melalui diskusi bersama, pelatih yang juga pemateri serta kami sebagai anggota sadar bahwa penyerang juga sama seperti kita. Mereka juga manusia dan sangat berkemungkinan mereka juga penakut, terlebih jika mengetahui bahwa korbannya melawan. Korban sangat diperbolehkan melawan, selama itu bersifat melindungi diri. Setelah itu, korban tidak perlu membantai atau membunuh pelaku kejahatan. Karena setelah penjahat lengah atau lemas atau kesakitan, korban bisa lari dengan luka minimal dan uang masih utuh (AMIN….atau mengambil uang perampok tersebut).

Kami berlatih memukul, menendang, mengefektifkan serangan, membuat serangan memiliki efek distruksi yang besar, serta lepas dari jeratan atau cengkeraman. Bahkan belajar memelototi musuh dan bicara dengan intonasi yang intimidatif. Sangat bertentangan dengan budaya di negara ini, dimana perempuan dituntut untuk berpakaian yang tidak mengundang syahwat, bertingkah lemah lembut (bukan lelembut) agar dikasihani dan tidak disakiti, atau tidak diperkenankan pulang malam serta membatasi diri dari ranah publik. Pada tingkat tertentu, kita perempuan dituntut untuk nurut dan mengganggap tubuh sebagai akar masalah.

Latihan fisik memang kegiatan yang membutuhkan waktu dan energi lebih. Namun entah kenapa, diantara kelelahan tersebut ada juga perubahan cara pandang yang ahirnya juga merubah prilaku. Saya tidak pernah sadar bahwa tubuh (perempuan) bisa jadi senjata yang sangat mematikan. Bahwa tubuh (perempuan) sebagai subjek dapat melakukan aksi, bukannya menjadi objek atas penyebab sebuah aksi.

Tukang parkir itu ada satu jangkauan pukulan di depan saya. Mata saya tetap bertemu dengan mata dia yang warna putihnya sudah mulai keruh. Ini cara saya menandai daerah kekuasaan, mirip anjing yang mengencingi pohon. Dalam hati saya berkata, “Ini wilayah saya, bapak ada perlu?”

Dia tersenyum merogoh saku celana sebelah kiri, sambil tersenyum namun matanya sudah tidak sejajar dengan mata saya. Dia tiba-tiba mengeluarkan bola kertas yang terbuat dari kertas-kertas kecil yang tercabik-cabik.

Dia menawarkan tangannya lebih dekat ke mata saya dan berkata “Ini mbak, daripada nanti nunggu lama.”
Sebuah kertas antrian dengan nomor 361.

Segera dia pergi menuju parkiran tanpa memintah imbalan. Tiba-tiba langit gelap yang sudah sampai diatas kepala sepertinya menjadi cerah.


Rokok saya sudah habis. Saya bergegas masuk gedung melihat nomor antrian yang sedang dilayani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar