Laman

Rabu, 26 Januari 2011

Bangunkan aku di bulan September

Untungnya saya masih punya satu jatah cuti untuk bulan September. Sengaja tidak saya ambil untuk keperluan mendadak, kebetulan pula keperluan mendadak tersebut terjadi di ahir bulan September. Sehari sebelumnya, temen saya dari Jakarta memberitahukan bahwa dia akan datang bersama temannya dari Belanda. Teman saya menawari ikut ke Bondowoso-Tanggul untuk mengangambil gambar. Maka saya memintah ijin ambil cuti ke Kepala Sekolah untuk ahir September. Terlalu sederhana kalau dibilang kebetulan.



Saya bersama teman saya Henri dari Jakarta, tamu dari Belanda dan Sigit si sopir pergi ke Bondowoso. Kami berempat membawa senjata masing-masing. Henri berbicara Bahasa Belanda dengan fasih kepada temu dari Belanda, namun Berbahasa Inggris ketika berbicara dengan saya dan tamu Belanda, dan berbicara Bahasa Indonesia kepada saya dan Sigit. Lariolaine berbicara Bahasa Inggris kepada saya dan Henri dan berbicara Bahasa Belanda dengan Henri. Sigit berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan saya dan Henri, dan Berbicara Bahasa Jawa dengan saya. Sedangkan saya berbicara dalam Bahasa Inggris kepada Henri dan tamu Belanda, berbicara Bahasa Indonesia dengan Henri dan Sigit, dan berbicara dalam Bahasa Jawa dengan Sigit. Otomatis (jika kalian mau menggambar petanya) tamu Belanda dan Sigit tidak pernah berbicara sama sekali.
Sebelum sampai di pabrik gula Bondowoso, teman kami berhenti di kota Bondowoso untuk menggambil gambar Monumen Gerbang Maut. Dia bercerita pada saya (dalam versi Dutchman Keparat) bahwa kejadian Gerbong Maut murni kecelakaan. Pihak Belanda tidak pernah berencana untuk memasukkan banyak tahanan dalam gerbong kelewat kecil dengan jumlah penumpang kelewat tidak masuk akal. Dia menambahkan bahwa pihak-pihak yang terlibat, administrasi, bahkan masinis kereta tersebut diadili dan diproses secara hukum. Sementara dalam versi Indonesi saya (yang sengaja tidak saya ungkapkan pada tamu Belanda) secara logis para tahanan bukanlah tahanan criminal melainkan tahanan politik yang memiliki sifat umum pembangkang, berani, pantang menyerah, dan tidak takut mati. Tentu saja Belanda terintimidasi dengan para tahanan sehingga jalan terbaik yang bisa dilkukan untuk menjauhkan mereka adalah membuat lakon “Ketidaksengajaan” yang saya pribadi yakin
terinspirasi dari peristiwa Holocaust. Memang saya tidak mengatakan versi saya kepada dia, karena hari ini dia adalah tamu saya yang sudah terbang 22 jam plus transit 4 jam di Dubai, naik kereta 14 jam ke Surabaya, ditambah 5 Jam ke Jember dan naik mobil 45 menit ke arah Bondowoso. Selain itu, saya pernah belajar bahwa Karl Marx dalam Materialist History berkata “Sejarah dibentuk oleh manusia karena ada kepentingan, tetapi sejarah yang murni adalah sejarah yang membentuk manusia”. Maka saya anggap memperdebatkan sudut pandang sejarah akan sama seperti melihat Saiful Jamil dan Dewi Persik adu argumentasi di infotaiment, karena yang terpenting adalah cerita versi yang saya imani dan saya belajar banyak dari cerita tersebut bersama konspirsi yang menyertainya. Saya lihat Monumen Gerbong Maut dari belakang jok mobil dan bedoa untuk korban-korban yang ada di dalamnya.
Dalam perjalanan ke pabrik gula, dia bercerita tentang dia yang vegetarian (Cerita vegetarian akan mendapat laman sendiri nanti) dan tentang misinya mengambil gambar. Kakeknya pergi ke Indonesia pada usia 20 tahun (dia tidak banyak bercerita tahunnya atau saya saja yang kehilangan pendenganran karena logat Belandanya yang sengau) dia menunjukkan foto kakeknya yang masih berumur 20 tahun pada saya. Pada saat foto itu ditemukan, dia berumur 21 tahun namun si kakek sudah tidak ada. Dia bertanya tentang kakeknya kepada sang ayah, namun ayahnya hanya tahu bahwa si kakek pernah bekerja di Indonesia tepatnya di Jawa Timur. Tamu Belanda mencari tahu dari kerabatnya yang lain, kemudian dari sinilah dia mendapat titik terang tentang kakeknya. dia pergi ke perpustakaan dan mengumpulkan data hingga dia bertemu 2 veteran warga Indonesia yang ada dan sudah menjadi warga negara Belanda. Setelah dia tahu banyak tentang cerita kakeknya, barulah dia pergi ke Indonesia untuk mengambil tempat-tempat yang dulu pernah disinggahi kakeknya (Jember-Bondowoso adalah salah satunya).
Saya masih ingat antusiasmenya waktu bercerita tentang proyeknya. Salah satu ceritanya adalah bahwa tentara Belanda dilempari dengan senjata api oleh pribumi dari bukit landai antara Jember-Bondowoso, yang menarik dari kisah ini adalah bahwa setelah kami berjalan pulang-pergi melewati Jember-Bondowoso beberapa bukit atau dataran yang kami jumpai mustahil untuk dibuat bersembunyi dan menembaki Belanda. Tapi dia tetap mengambil gambar tiap ada dataran tinggi dalam perjalanan Jember-Bondowoso dan kami berdalih bahwa waktu telah merubah topografi daerah tersebut. dia bersemangat dan terus bercerita kepada saya tentang kakeknya. Dia merasa bahwa kehidupan dia kakeknya yang belum pernah dia temui adalah bagian sejarah dalam hidupnya dan saya kagum dengan cara pandangnya. Kakek saya sendiri bernama Abdul Sukur meninggal waktu saya berumur 9 tahun dan tidak ada lagi yang bisa saya tahu kecuali namanya dan cerita-cerita tentang falsafah hidupnya dari ibu saya.
Siang sudah hampir senja waktu kami menyebrang dari Bondowoso menuju pabrik gula di Semboro. Henri menghangatkan isi mobil dengan melempar tema Bendera Setengah Tiang yang berkibar di beberapa halaman depan gedung. Saya tidak tahu, mungkin mereka dari sekte tertentu karena tid`k semua rumah dan semua gedung memasang Bendera Setengah Tiang. Sebelum Sigit yang notabene adalah sopir kami berkata “Mas, ini kan tanggal 31 September. Ahir September saat saya mengambil jatah cuti saya yang terahir untuk melakukan perjalanan historis dengan teman Belanda saya yang secara tidak senganja telah mengajari saya arti identitas dalam sejarah. Ahir September saat sejarah Ahir September 1965 masih dualis, tigalis bahkan limalis. Terlalu sederhana kalau dibilang kebetulan.

4 komentar:

  1. Wah ribet ya peta bahasanya, haha.
    Tentu saja senang baca artikel ini, mengingatkan kalau aku mbiyen kuliahe nang sastra ilmu sejarah tapi untuk melacak jejak sejarah keluarga masih kalah jauh sama si Maejolein;

    BalasHapus
  2. Iya, bro.
    aku kagum, dan salut dengan kemauan dan keinginan ini anak.
    Sebenarnya memang gak penting menjelajahi masa lalu nenek moyag kita, sekilas malah terlihat seperti Puritan yang mencari legitimasi Ras-nya. Tapi aku melihat Maejolain punya tujuan lain dan aku salut sama dia.
    tidak penting tapi jika mencari jejak leluhur membuat dia justru lebih sadar dan mawas semakin membuat dia jadi dewasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakak, namanya Marjolein van Pagee. Tadi sore aku sama dia di Indonesian Press Photo Service. Keren ya. Bermula dari artikel ini, akhirnya aku ketemu pisan :)

      Hapus
    2. Selamat ya, Bro.
      Aku tak menyangka kalau Bro Hakim bisa bertemu dengan tokoh utama dalam tulisanku.

      Hapus