Laman

Rabu, 17 Oktober 2018

352 - Kematian - Pernikahan - Lahir Kembali [Obituari untuk Ana]

Kematian
Saya memberi tahu Ana perihal keikutsertaan saya dalam program 10 hari Vipassana di Vihara Bodhigiri di Blitar awal Agustus lalu melalui pesan daring. Seperti biasa Ana menanggapinya dengan bahasa positif dan sangat memampukan. Ana berkata bersyukur bahwa jalan saya belajar meditasi dan yoga dibukakan dan semakin dimantapkan. Dalam pesan, dia juga berharap semoga saya dimudahkan jalannya dalam pencarian hidup.
Karena meditasi dilakukan di Blitar, saya sempat berjanji akan mampir ke Malang untuk mengunjungi Ana. Ana sangat senang dan mengirim fotonya lewat WA. Dia ingin meyakinkan saya bahwa dia baik-baik saja dan tetap sehat.
Pertemuan saya dan Ana dimulai sekitar 5 tahun lalu di Yogyakarta dalam Jaringan Perempuan Yogyakarta. Semenjak itu kami lebih sering bertemu dan tukar pendapat bahkan saling tukar pekerjaan. Ana adalah guru bahasa Inggris profesional. Kawan-kawan sering meminta jasanya belajar bahasa Inggris untuk keperluan kantor atau rencana studi ke luar negeri. Saya juga menggunakan jasa Ana ketika kantor saya membutuhkan peningkatan kapasitas berbahasa Inggris. Ketika saya merencanakan mengikuti ujian IELTS (International English Language Testing System), Ana justru menolak saya jadi muridnya dan membagikan soal-soal latihan IELTS dengan cuma-cuma agar saya mau belajar sendiri. Ana sudah tahu kemampuan saya.
Ana saya kenal baik dan tidak pernah mengeluhkan dinamika pertemanan yang terjadi di Yogyakarta. Dia berteman dengan siapa saja, tanpa memilih meskipun orang tersebut sering disebut-sebut punya masalah dalam kelompok. Bagi Ana, berteman berarti menyediakan ruang tumbuh bersama tanpa ada kepentingan khusus. Tidak pernah saya mendengar Ana mengeluh tentang seseorang atau kehilangan senyum dalam setiap kali bertemu. Kecuali bahwa sebaliknya, saya sering berkeluh kesah kepada Ana dan Ana selalu membersihkan telinga dan hatinya, menjadi pendengar yang baik dan dikarenakan dia tidak memiliki agenda pribadi, maka saran-saran yang dia berikan selalu berpijak pada kebenaran. Kadang saya dibuat malu oleh saran yang keluar dengan tutur yang santun namun menohok. (Oh Ana betapa aku sangat merindukanku ketika barisan tulisan ini aku himpun untukmu).
Sayangnya, saya menghianati janji saya bertandang ke Malang karena urusan yang harus saya lakukan di Jember. Dalam informasi batal inipun, Ana memaklumi dan meminta saya untuk terus mengjar cita-cita.
Pada 9 oktober 2018, melalui tayangan di facebook mbak Asih, saya mendapat kabar bahwa Ana sudah berpulang, berangkat ke tempat yang lebih mulia.
Ketika ada rencana perjalanan ke Surabaya, saya ahirnya sempatkan datang ke rumah Ana meskipun mendiang telah dikebumikan. Saya ingin melarung hormat terahir saya kepada Ana agar kebaikannya bisa saya contoh.

Pernikahan

Di rumah duka, saya disambut oleh Ibu Misni -ibunda dari Ana- yang langsung mempersilahkan saya duduk. Menemani saya sepanjang siang itu, menceritakan tentang hari-hari terahir Ana tanpa saya minta. Dan selama di samping, Ibu Misni terus meremas tangan saya. Dia melepas tangannya hanya ketika menawari air minum dan kue yang disodorkan kepada saya, meletakkan piring di atas meja, lalu kembali lagi menggenggam tangan saya.


Ibu menceritakan tentang kisah hidup Ana sebelum kami saling mengenal. Dari cerita tersebut, saya semakin paham, bagi Ana aktivisme dan menjadi pekerja sosial bukan hanya profesi kantor, namun dia juga melakukannya dalam hidup sehari-hari. Ana pernah menggalang dana untuk operasi gondok orang yang tidak dikenal ketika dia di Malang. Dia juga menolong tetangganya yang kesusahan. Ana selalu punya deposit energi untuk orang lain, bahkan dihari-hari ahir ketika dia menjalankan kemo (bukan terapi). Ana masih menyibukkan diri dengan aktivismenya. Bolak-balik Yogyakarta dan bahkan sampai keluar negeri.
Dari tutur dan cerita Ibu Misni, saya percaya dengan mitos bahwa perempuan kuat dibesarkan oleh perempuan yang kuat pula, karena saya melihat Ibu Misni berusaha tabah saat menemani tamu-tamunya. Ibu Misni mengambil buku yang menjadi insprasi Ana. Dia menunjukkan kepada saya tandatangan pengarang dan mengutip beberapa frasa yang dia tandai.



Suatu kali Ibu Misni pernah bertanya tentang pernikahan kepada Ana dan Ana menanggapi dengan bijaksana:
“Mami kok malah mengalami kemunduran? Pernikahan adalah masalah pribadi, ada orang yang bahagia dalam pernikahan namun ada juga orang yang bahagia ketika dalam keadaan tidak menikah.”
Saya melihat Ana yang asli dalam jawaban ini, Ana yang walaupun hatinya lembut dan selalu ceria namun bisa menjadi tegas dan bijaksana. Saya tidak pernah memikirkan jawaban itu ketika orang-orang bertanya kepada saya atau bersikap acuh dengan pertanyaan seputar pernikahan. Saya melihat hubungan yang setara antara Ibu Misni dan Ana sebagai ibu dan anak yang selalu menyediakan ruang diskusi luas untuk mengkorfimasi pikiran, pemikiran dan perasaan.

Lahir Kembali

Jika ada sesuatu yang saya rahasiakan kepada Ana adalah perjuangan saya pulih dari rasa panik dan rasa takut yang sedang saya hadapi. Keputusan saya mengikuti program Vipassana di Blitar adalah karena pola keinginan bunuh diri saya muncul kembali dan sering datang. Tentu saya tidak membagi kisah ini dengan Ana mengingat dia juga sedang berjuang dengan kanker dalam 2 tahun terahir. Saya yakin, secara batin Ana memahami keadaan saya dan akan selalu mendukung apapun yang saya putuskan.
Pola bunuh diri saya muncul kembali semenjak kematian salah seorang sahabat. Saya merasa kesepian dan semakin sedikit orang yang memahami saya dan serasa dunia semakin mengecil.
Namun kepergian Ana berbeda. Kepergian Ana mengajarkan saya untuk lebih menerima kejadian tak terduga dalam hidup, bahkan kenyataan jika suatu hari saya bisa saja sakit dan meninggal. Banyak yang saya pelajari dari persahabatan dengan Ana dan perjumpaan saya dengan Ibu Misni. Ana mengajarkan saya bahwa penghargaan terhadap penciptaan kehidupan adalah merawat hidup dan mencintai tubuh sendiri sebagai bentuk rasa syukur.
Selamat jalan Ana, lindungi kami terus dan semangatmu akan selalu kuhidupkan, sampai kita bertemu lagi.

Senin, 23 Juli 2018

351 - Rasa

Saya sedang duduk di kursi kerja di rumah, ketika saya melihat di layar komputer dan memutuskan berhenti bekerja sejenak. Layar komputer masih hidup dan beberapa surel belum dijawab.
Saya rindu ibu. Ingin sekali bertemu dengannya. Kadang-kadang hanya melihatnya saja bisa membuat diri tenang.

Saya memutuskan menutup komputer jinjing dan diam sejenak. Selama ini, salah satu alasan kuat saya tidak melakukan bunuh diri adalah karena ibu. Bukan........ bukan karena saya sayang dengannya. Tapi karena tidak ingin membuat ibu dan keluarga malu.

Selama ini, pegangan hidup saya hanya itu. Tidak ada lagi keinginan lain, tidak ada lagi rasa yang lain. Hidup hanya menunggu ujung hari habis dan memulai hari dengan berat karena tidak ada alasan untuk dihidupi.

Saya bertanya lagi, apakah ini bentuk cinta yang ingin saya persembahkan kepada orang lain?

Di tempat yang sama, hanya berjarak beberapa waktu dari jam kerja, saya menangis. Sendirian.
Namun untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu, saya merasa nyaman dengan kesedihan yang hadir. Keheningan membawa kesadaran dan pengetahuan. Menawarkan lagi rasa yang pernah dikecap. Rasa yang sengaja dimatikan agar perasaan dan kesadaran lain tidak muncul menyertai. Keindahan yang dihianati.

Dalam tangis ini pula untuk pertama kalinya, saya merasa baik-baik saja dalam kesendirian. Tidak lagi takut.

Kamis, 12 Juli 2018

350

Pikiran bunuh diri muncul lagi.
Walaupun tidak sesering dan berulang-ulang seperti saat berumur 11 tahun ketika saya tidak punya kuasa, kekuatan dan bahasa mengungkapkan perasaan ini kepada kedua orang tuaku.

Saya duga.
Setelah semua berlalu dan mendapat penerimaan penuh dari keluarga, maka semua akan baik-baik saja. Karena sebenarnya tidak satupun yang saya takuti ketika ibu ada disamping dan membela.

Ternyata saya salah.
Saya ingat, ketika diagnosa penyakit mental saya diterbitkan oleh psikiatri beberapa tahun lalu yang menjadi jembatan saya berani bicara dengan bapak dan ibu. Psikiatri diberi resep obat penenang. Satu pil saya tenggak dan ahirnya saya bisa tidur 5 jam kemudian terbangun buang air kecil dan minum kemudian tidur lagi selama 5 jam berikut. Saya bangun dan merasa segar seperti baru diinstal ulang.

Tidak butuh waktu lama.
Saya melihat wajah ibu yang berubah. Dia sedih. Mungkin merasa gagal. 12 pil yang diresepkan oleh dokter hanya diminum satu kali. Saya tahu, ternyata pil ini tidak menyembuhkan. Pil ini hanya memindah penyakit saya menjadi penyakit ibu.

Sejak itu.
Saya bertekat melawan tanpa obat. Toh sebenarnya saya tidak sakit, dunialah yang sedang tidak baik-baik saja. Setahun kemudian saya memutuskan jadi vegetarian. Entah apa alasannya. Saya hanya mengikuti naluri.

Setelah sebelumnya berbagi tentang kondisi ini hanya kepada 2 kawan, ahirnya awal bulan Juli saya berani bercerita di depan kantor. Pilihan saya cuma dua, bercerita dan mengungkapkan keluh kesah tanpa berharap akan ada penyelesaian masalah atau saya harus berhenti dari kantor untuk mencari jalan pulih. Ada rasa luar biasa legah setelah saya bercerita dengan teman-teman, juga rasa terkejut melihat mereka terkejut dengan cerita saya dan keinginan bunuh diri ini.


Saya bisa saja terus merancu tentang apa yang terjadi, tentang kekerasan yang saya alami dan juga dialami oleh perempuan lain. Tentang kebohongan yang dilakukan oleh orang-orang yang saya beri kepercayaan dan saya biarkan merumuskan masa depan saya. Pada Agusuts 2014, satu-satunya orang yang bisa membuat saya tertawa 'Robin Williams', mengahiri hidup di tangannya. Maka hari ini saya memilih untuk pulih dan melawan iblis di dalam diri. Selama rentang waktu ini pula, saya melihat bahwa kesehatan mental sering disalahtafsirkan yang menyebabkan penanganan, cara memperlakukan dan menanggapinya justru memperparah kondisi personal tersebut.

Dalam tulisan ini saya hanya ingin menuliskan apa saja yang sudah dilakkukan dan di mana saya sekarang berada.


Apa yang terjadi saat ini:

  • Kadang saya bangun dan tidak ingin melakukan apapun,

Selasa, 26 Juni 2018

Membawa Pesan Menemahi di Ruang Tunggu


Suasana sedang tidak baik, kami sepertinya ada di masa perang, tinggal satu pemuka agama yang ada dan tugas kami adalah melindunginya karena dia bisa melihat kebijaksaan melampai penderitaan hari ini. Saya mendapat tugas mengantarkan 4 orang tentara bertemu dengan pemuka agama. Saya sendiri belum pernah bertemu dengannya. Dia ada di bangunan lama yang dilindungi oleh lapisan pendukung dan pelindungnya. Tidak semua orang dapat menembus lapisan ini tanpa seijin dari pemuka agama dan para pelindungnya.

Sesampainya di gedung, 4 tentara segera naik ke lantai paling atas menemui pemuka agama. Salah satu pelindung mendatangi saya dan mengatakan bahwa ada perempuan di perpustakaan yang mengaku wartawan. Dalam suasana kurang beruntung seperti ini sebuah kalimat berita bisa jadi sebuah perintah. Saya bergegas menuju perpustakaan dan menyapa semua orang disana. Beberapa sudah saya kenal atau lihat sebelumnya kecuali seorang perempuan. Saya mengajak dia bicara dan memperkenalkan diri. Perempuan ini bercerita tentang perjalanannya sampai gedung dan beberapa orang yang ada dalam lingkaran kami. Dia juga bercerita pertemuan terahir dan ciri-ciri fisik kawan-kawan di luar yang dia jumpai. Dia ingin meyakinkan saya bahwa dia juga bagian dari perjuangan ini. Kenyataan bahwa dia tahu saya sedang menganalisa dirinya dan berusaha menyakinkan saya tentang dirinya membuat saya yakin walaupun dia tidak pernah saya lihat sebelumnya, dia berniat baik atau bahkan mungkin tidak punya niat khusus.

Suara perempuan dari lantai atas mengangetkan kami di perpustakaan. Dia mengumumkan bahwa gedung ini bukan ruang tunggu dan jika ingin menunggu giliran bertemu dengan pemuka agama kami harus lakukan diluar gedung. Suaranya tidak asing, saya menengadah mencari tahu sumber suara dan terkejut mengetahui bahwa perempuan itu adalah Maria yang sedang menggendong bayi. Saya mengumpulkan energi, menyadari suasana dan berkonstrasi agar tidak terjaga.

Beberapa laku yang saya lakukan 5 tahun terahir membuat

Rabu, 20 Juni 2018

Tutup Buku

Setelah badai Syawal Plot berhasil kami lewati, ibu dan saya memutuskan membenahi buku-buku yang tertumpuk di kamar belakang. Rencana awalnya adalah memilah buku yang penting dan masih dibaca atau bisa diberikan dan buku yang bisa diperdagangkan dalam hitungan kilo (benar kami melakukannya).

Syawal Plot adalah rangkaian kegiatan yang terdiri dari:
  1. Memutahirkan bentuk hidup, jumlah anak, prestasi sekolah anak, pekerjaan, rumah, kepemilikan bendawi, dandanan, semrat phone.
  2. Mengeluh tentang tantangan hidup yg dilewati. Dalam tahap ini kisah yang lebih sengsara akan lebih menjual, mirip trick melewati Indonesian Idol.
  3. Membicarakan orang lain yang tidak ada dalam ruangan. 
  4. Membuka aneka stoples.
  5. Pulang dan doa penutup 

Salah satu buku tanpa gambar sampul memaksa saya membuka halaman-halamannya agar tahu jenis buku dan kelayakan. Ternyata buku tanpa sampul tersebut bukan tanpa alasan. Jika melihat konteks waktu, buku tersebut memang diharuskan tanpa sampul untuk alasan keamanan.

Salah satu buku simpanan bapak yang dia dapat entah karena dia ingin belajar atau karena pada saat itu dia hanya sekedar penasaran.

Hari ini, buku tersebut tidak perlu disembunyikan, beberapa orang justru semakin eksibionis mempertontonkan tumpukan koleksinya di lemari paling depan. Pikiran saya menetap pada informasi bahwa semuanya berubah, yang dulunya dianggap dosa dan haram, hari ini bisa halal dan diimani. Lalu bagaimana dengan nilai-nilai yang ditawarkan di dalamnya, apakah akan tetap sama atau akan hambar berubah dan tidak lagi menjadi penting.

Buddha pernah berkata: "Aku hanya mengajarkan satu hal dan hanya satu hal saja, yaitu

Selasa, 20 Desember 2016

Kepagian

Kemudian setelah tahun-tahun berlalu dan saya mencoba untuk pulih dari kekerasan domestik yang saya alami.
Banyak yang saya tidak tahu tentang ibu, dan banyak yang ibu tidak tahu tentang saya. Termasuk kenyataan bahwa pada saat pindah ke Yogyakarta saya tinggal dengan orang lain. Demi bisa tidak hidup di jalan dengan upah yang bahkan  kesulitan membeli makan.
Saya membiarkan saya menggantung dengan kehidupan dan keputusan orang lain.
Butuh waktu sejak ahirnya sejak tulisan saya sebelum ini ahirnya saya berani keluar dari lingkaran tersebut.
Keberanian sepertinya diciptakan oleh Tuhan diawal, bukannya cinta kasih. Karena setelah saya berani keluar dari rumah dan ahirnya harus berpindah-pindah dari rumah aman (shelter) dan numpang tanpa pasti ke rumah teman, ahirnya perlahan rejeki datang dan tawaran pekerjaan tidak pernah berhenti. Sampai saya ahirnya bisa menyewa kamar 3 x 5 meter yang kepanjangan dan cocok untuk merebahkan matras dipagi hari. Sampai ahirnya saya bisa yakin bahwa besok saya akan makan 3 kali sehari.
Ternyata hidup tidak sekejam yang dibayangkan jika kita berani. Kesediaan alam tanpa batas memberi jika kita juga memberi.
Siang ini saat saya ahirnya berani menceritakan ini, saya berusaha untuk pulih, dari semua kekerasan verbal yang ternyata tidak sanggup mendefinisikan hidup saya.
Saya pergi ke semua kafe, membangunkan seluruh penghuni di dalamnya. Salah satu perempuan 40 tahunan memberi tahu jika kafe ini buka pukul 12 siang.
"Tapi gak papa kalau mbak masih mau disini sampai buka." tawarnya menenangkan.
Saya memilih tinggal dan menikmati bagaimana bentuk kehidupan lain memulai harinya. Musik alternatif 80-an diputar dan saya kurang tahu siapa penyajinya, gelas dan mangkuk semalam dikumpulkan dalam satu meja. Puntung rokok dibuang le tempat sampah.

Satu adegan pagi yang kesiangan, perempuan tadi membuka tirai jendela dan ahirnya cahaya masuk dan gedung sebelah terlihat, tukang parkir di bawah melambai-lambaikan tangannya.
Hidup siang ini ternyata kepagian dan kita memang sering kepagian. Termasuk rekasi kita kepada sebuah kejadian yang ternyata masih pagi.
Perempuan tadi memberiku salam dan jus jeruk, kami bicara sejenak. Dia memperkenalkan dirinya, namanya adalah nama adik perempuanku. Kemudian dia mengaku "Saya sepertinya sering lihat mbak?"
Dalam hati saya berkata,

Selasa, 21 Januari 2014

Serangan Mendadak

Bergegas saya mengambil nomor antrian di mesin kotak, pagi hari yang masih pukul sepuluh. Langit di sebelah utara murung karena mendung, membuat waktu sepertinya masih pukul enam pagi. Kertas yang keluar memberitahukan bahwa saya ada pada antrian 547. Lekas-lekas saya melihat nomor yang sedang dilayani. Masih nomor 243. Kemudian saya lanjutkan dengan menghitung jumlah pelayanan pelanggan. Ada 5 orang yang melayani, dengan data yang masuk saya bisa menghitung berapa lama sampai saya nantinya akan mendapat giliran.

(547-243) : 5 = 60

Anggap saja butuh 60  nomor kedepan jika hanya ada 1 pelayanan. Jika tiap pelanggan dilayani selama 2 menit maka waktu yang dibutuhkan untuk menunggu adalah

60 X 2 = 120 menit atau 2 jam.

Di dalam gedung ber AC dan ratusan orang, waktu seperti berjalan lambat. Semua seperti murung entah mungkin karena mendung dari Utara sudah mulai mendekat. Saya sudah melewati 30 menit dan ternyata semua angka tadi meleset. Tiap pelanggan dilayani lebih dari 10 menit, walaupun ada juga beberapa nomor yang kosong dan terlewati. Membuat semua jadi tidak bisa dikalkulasi.

Tidak lama kemudian semua jadi kacau dan waktu didalam gedung berjalan sama dengan waktu di luar sana, namun menyadari bahwa ada banyak tugas di luar sana yang harus ditunda membuat semua waktu di dalam maupun di luar gedung sama-sama berhenti. Saya tidak mempersiapkan hari ini. Bahkan saya tidak membawa buku atau koran bacaan untuk curang dari waktu.

Saya memutuskan keluar gedung untuk merokok sambil melihat langit yang sekarang sudah gelap mendung. Baru saja rokok terbakar setengah sebatang, tiba-tiba dari jauh seorang tukang parkir menuju ke arah saya. Badannya besar dan kulitnya hitam terbakar matahari yang tidak setiap hari mendung seperti hari ini. Dia tersenyum seolah-olah dibuat manis. Saya tetap santai duduk sambil merokok.

Sudah sebulan ini saya bergabung dengan kelompok bela diri, kami berlatih setiap seminggu sekali