Laman

Jumat, 16 September 2011

Jakarta Pertama

-->
Saya sedang menulis surat pengunduran diri dari kerja 15 hari setelah Lebaran. Memang saya sengaja mengambil tindakan setelah uang THR saya cair agar saya bisa belebaran dengan baju baru sama seperti orang-orang lain. Namun seorang teman mengajak saya mencari kerja di Jakarta lebih awal, saya langsung mengurungkan niat untuk berhenti dari kerja tanggal 15 namun memajukan keinginan saya.
Tepat 12 hari setelah Lebaran tiket ke Surabaya jalur kereta api sudah dipesan. Saya bangun pagi pergi ke stasiun betemu dengan teman. Di dalam kereta api ke Gubeg, kamu sempat mendengar kabar dari teman lain di Tulung Agung bahwa tiket kereta ekonomi ke Jakarta telah habis hingga 7 hari kedepan. Tentu saja kami langsung menelepon teman-teman yang ada di Surabaya untuk minta konfirmasi jadwal kereta api Surabaya-Jakarta. Seorang teman yang saya telepon berkata bahwa kereta ekonomi tidak mungkin bisa dilihat via internet, memesan tiketnyapun juga tidak mungkin bisa karena tiket harus dibeli di stasiun keberangkatan sebelum berangkat ke Jakarta. Saya memberi tahukan kepada teman bahwa tiketnya tidak mungkin habis karena tidak mungkin dipesan. Lagipula hari itu sudah seminggu paska Lebaran. Semua kantor di Jakarta pasti sudah aktif kerja.
Sesampainya di Gubeg, saya mendapat tugas keluar stasiun untuk memesan tiket ekonomi ke Jakarta dengan membawa tas teman saya yang paling berat, sementara teman akan tetap tinggal di kereta api untuk menjaga barang bawaan kami yang lain. Sesampai di depan loket, saya tidak perlu bertanya karena ada tulisan pengumuman besar yang memberi tahukan bahwa

“Tiket Kereta Api jurusan Jakarta habis sampai tanggal 20”

Langsung saja saya menelepon teman yang ada di atas kereta api. Saya harus kembali ke dalam kereta api untuk mencari strategi lain. Waktu saya memcoba masuk lewat peron yang berharga Rp 2.500, ada barisan panjang para penumpang lain. Cepat saja saya lari dengan tas yang berat menuju tempat keluar. Sambil melawan arus, saya dicegat Satpam yang menyuruh saya masuk lewat peron. Saya berdalih bahwa HP saya yang satu ketinggalan di teman saya di dalam (sambil tetap memegang HP yang lain di tangan kanan). Satpam tidak mau melepas saya lalu dia mennyakan tiket saya yang buru-buru tidak bisa ditunkjukkan karena dipegang oleh teman di dalam kereta api. Saya berdalih lagi. Kemudian Satpam sedikit melemah sambil memintah saya menunjukan kartu identitas. Betapa terkejutnya saya

(dan satpam) ketika saya menurunkan tas yang berat dan menyadari bahwa itu bukan tas saya dan tentu dompet saya masih ada di dalam kereta api bersama tas dan teman juga HP yang fiktif. Kali ini saya tidak punya cara lain kecuali menelepon teman saya dengan HP yang riil yang tentu saja akan membuat teman akan turun dari kereta api. Melihat ekspresi saya yang lebih riil dari HP yang ada di dalam kereta api, ahirnya Satpan benar-benar membiarkan saya masuk namun harus cepat. Segera saya lari dengan HP riil tetap di telinga dan menelepon teman dan kemudian satu tali ransel terputus karena kelebihan beban sambil saya berteriak terima kasih kepada satpam.
Sampai di dalam kereta, kami bingung karena rencana kami untuk beli tiket ekonomi yang harganya Cuma Rp 30.00 gagal. Belum lagi kami binggung mencari jalan alternative menuju Jakarta. Kami turun dari kereta api kemudian teman yang lain menelepon teman saya. Dia memerintah untuk beli tiket ke Purwokerto untuk 3 orang. Teman saya langsung berlari keluar stasiun untuk memberli tiket, saya pastikan dia membawa dompet sendiri, tiket sendiri, HP riil-nya, dan titipan salam kepada pak Satpam. Kami memegang 3 tiket sambil mencari kereta yang akan membawa kami ke Purwolerto yang ternyata adalah kereta yang sama waktu kami turun. Saya mengarankan untuk tidak duduk di tempat tadi karena harga diri kami akan terkoyak setelah tadi saya sempat turun dan naik lagi dan membawa teman saya turun bersama dan kemuadian bersama-sama naik lagi. Tapi ujian mental tidak diberikan manusia, Tuhan sengaja mengosongkan bangku tempat kami tadi duduk. Teman saya yang kedua datang dan kemudian kita bertiga membawa tiket masing-masing sambil membicarakan strategi selanjutknaya menuju Jakarta dari Purwokerto.
Seharian kami ada diatas kereta api jam makan siang terpaksa terlambat karena kami mau makan siang pecel di Madiun yang berupa nasi sayur dan makanan lengkap. Kami terus berada di atas kereta melewati stasiun-stasiun kecil dan kota-kota yang jadi daftar tujuan wisata bagi orang di seluruh dunia. Klaten…Prambanan…Jogja(sialaaaan), Solo(sialaaaan super) dan saya memutuskan tidur siapa tahu saya cuma mimpi. Matahari sudah absen dari langit dan teman kami membangunkan kami bahwa kami bisa sampai ke Jakarta dengan tiket ekonomi AC seharga Rp 120.00 atau naik bis dari Purwokerto. Dengan uang di kantong tentu saja kamimemilih untuk naik bis saja, keputusan itu kami ambil karena kami juga mendengar rumor bahwa tiket kereta ekonomi juga sudah habis. Salah seorang pegawai di kereta api memberi saran agar kami berhenti satu stasiun sebelum Purwokerto karena bis menuju Jakarta lewat di kota itu sementara jarak antara stasiun kereta api Purwokerto dan terminal bis sangat jauh.
Kami berhenti di kota yang saya pribadi belum tentukan sebagai tujuan wisata. Kota yang baru itu saya injak dan saya kenal namanya “Gombong”. Kami keluar dari stasiun melewati kerumunan tukang ojek, tukang becak dan sopir angkot yang menawarkan jasa. Waktu menunjukkan pukul 11 malam dan kami harus menyegerakan makan malam. Di warung di Gembong ini kami berbicang dengan penjual nasi. Dia berkata bahwa bis menuju Jakarta akan berangkat pagi hari dan tidak ada bis malam menuju Jakarta. Kami hanya tiga orang yang ahirnya fokus pada rasa lapar dan pura-pura tidak peduli dengan beberapa berita yang tadinya kami anggap bohong tetapi ternyata benar.
Dari warung di Gombong, kami harus naik bis untuk ke stasiun Purwokerto yang katanya jauh dari stasiun Purwokerto. Dari info ibu penjual nasi, kami juga baru tahu bahwa butuh waktu 2 jam Gombong-Purwokerto. Kami tertawa terbahak-bahak sambil menunggu bis lebih karena kami ingin menghibur diri. Namun saya dan teman sama-sama menguatkan saling berkata.
“Kita tidak pernah mengambil keputusan yang salah. Ini adalah pilihan jalur yang benar sesuai kantong kita. Tidak ada yang harus disesali. Yang penting saya tidak sendirian.”
Benar saja, sesampai di terminal Purwokerto tidak ada bis menuju Jakarta. Kami berpencar mencari informasi jalan alternatif yang dapat mengantarkan kami ke Jakarta pagi hari. Teman yang lain menemukan bahwa bis jam 2 dini hari yang beroperasi menuju Bandung dan sesampainya di Bandung kami bisa naik bis ke Jakarta. Ke Bandung adalah jalan satu-satunya, tidak ada jalan lain.
Saya yang paling tidak tidur nyenyak, sambil berkali-kali bertanya kepada kondektur bis di mana seharusnya kami berhenti. Pukul 5 pagi, kondektur menyarankan untuk turun di pertigaan. Saya langsung dorong saja teman saya yang tidur kelewat lelap. Teman bertanya dimana kami sekarang, saya menjawab “Cileunyi”. Kemudian saya menyikut bagian belakang tasnya sambil menunjuk persimpangan bis tadi melaju “Bandung disitu.”
Saya berkata “disitu” bukan “disana” karena jaraknya memang dekat. Bandung (tempat tujuan wisata lagi yang saya umpat.)
Kami tiba di Jakarta (yang riil) pukul 8 pagi. Sementara kami harus sampai di tempat tujuan sebelum jam 3 siang, antusias saya sudah turun. Walaupun Pulau Gadung-Jakarta yang saya injak mirip sekali dengan pencitraan di TV. Berbagai kendaraan umum dengan berbagai warna, bentuk dan ukuran lewat lalu lalang. Orang-orang berlari menuju kendaraan tersebut, sebagian keluar dengan berlari juga. Jalan yang sebenarnya luas menjadi sesak. Ada banyak jenis manusia yang bisa dikenali dari atribut berpakaian dan usia mereka. Tujuan mereka tentu saja berbeda, kecuali satu, mencari materi di kota yang menawarkan kemudahan mencapai kelas sosial yang lebih tinggi. Sebagian pergi kerja dan yang lain pergi kuliah agar dapat pekerjaan yang lebih baik. Saya juga salah satu dari orang yang “persuit of happiness” saat itu. Saya juga berjuang mencari pekerjaan yang lebih baik agar memiliki kesempatan yang lebih pula. Namun diantara banyak kerumunan tersebut, saya bertanya “Apakah saya bisa menemukan cinta di tempat yang semua orang sepertinya tidak menawarkan.” Di Jakarta dimana tiket kereta api dari Surabaya habis dan kenyataannya memang dibatasi oleh pemerintah untuk membatasi arus balik mudik yang memungkinkan Jakarta kembali sesak. Tapi saya adalah salah satu dari pemudik arus balik Lebaran. Ini kali pertama saya ke Jakarta. Mencari uang atau mencari cinta? Mungkin memaknai uang dengan cinta. Kenyataannya memang demikian. Saya yang seharusnya sampai di Jakarta dengan biaya Rp 60.000. Harus melakukan apa yang mereka percaya “Nekat” untuk sampai di Jakarta dengan biaya tranportasi yang tidak terduga dan jalur yang aneh. Surabaya-Gombong (Rp 30.000). Gombong-Purwokerto (Rp 10.000), Purwokerto-Cileunyi (Rp 45.000), Cileunyi-Pulau Gadung (Rp 30.000).
Teman yang lain bertanya kepada beberapa orang bagaimana kami bisa sampai di alamat yang kami tuju. Beberapa orang tersebut memberi jawaban yang berbeda. Kami sudah terlalu lelah dengan menuruti perintah orang. Kemudian teman saya yang satu menunjuk ruang mirip koridir Rumah Sakit.

“Busway”

8 komentar:

  1. tertawa sejak awal membaca......ochi....yg tergiang di otakq....kdang,aq pun mrindukan saat2 konyol bersama teman2....myenangkan.....

    BalasHapus
  2. @Ulfa: ayo, bun Mblolang bareng sama kita-kita. hahahahah

    BalasHapus
  3. aq sempet mandi kembang di terminal purwokerto coz smoga perjalanan dapat berjalan dengan lancar....
    btw kapan brangkat lagi nich

    BalasHapus
  4. @ableeh: wahahahaha. jadi karena kamu kita selamet nyampe ke Jakarta. memang ternyata kamu yang bawa sial

    BalasHapus
  5. tak kan kulupa selamanya. Kapan kita jalanjaln lagi, Ira

    BalasHapus
  6. herman aku.,..
    masih ada orang kayak gini.
    lanjutkan...
    hidup bolang....

    BalasHapus
  7. hehehe never ending story.....
    ayo ikut mbolang...
    we only live once

    BalasHapus