Saya sedang menulis surat pengunduran diri dari kerja 15 hari
setelah Lebaran. Memang saya sengaja mengambil tindakan setelah uang THR saya
cair agar saya bisa belebaran dengan baju baru sama seperti orang-orang lain.
Namun seorang teman mengajak saya mencari kerja di Jakarta lebih awal, saya
langsung mengurungkan niat untuk berhenti dari kerja tanggal 15 namun memajukan
keinginan saya.
Tepat 12 hari setelah Lebaran tiket ke
Surabaya jalur kereta api sudah dipesan. Saya bangun pagi pergi ke stasiun
betemu dengan teman. Di dalam kereta api ke Gubeg, kamu sempat mendengar kabar
dari teman lain di Tulung Agung bahwa tiket kereta ekonomi ke Jakarta telah
habis hingga 7 hari kedepan. Tentu saja kami langsung menelepon teman-teman
yang ada di Surabaya untuk minta konfirmasi jadwal kereta api Surabaya-Jakarta.
Seorang teman yang saya telepon berkata bahwa kereta ekonomi tidak mungkin bisa
dilihat via internet, memesan tiketnyapun juga tidak mungkin bisa karena tiket
harus dibeli di stasiun keberangkatan sebelum berangkat ke Jakarta. Saya
memberi tahukan kepada teman bahwa tiketnya tidak mungkin habis karena tidak
mungkin dipesan. Lagipula hari itu sudah seminggu paska Lebaran. Semua kantor
di Jakarta pasti sudah aktif kerja.
Sesampainya di Gubeg, saya mendapat tugas
keluar stasiun untuk memesan tiket ekonomi ke Jakarta dengan membawa tas teman
saya yang paling berat, sementara teman akan tetap tinggal di kereta api untuk
menjaga barang bawaan kami yang lain. Sesampai di depan loket, saya tidak perlu
bertanya karena ada tulisan pengumuman besar yang memberi tahukan bahwa
“Tiket Kereta Api jurusan Jakarta habis sampai tanggal 20”
Langsung saja saya menelepon teman yang ada
di atas kereta api. Saya harus kembali ke dalam kereta api untuk mencari
strategi lain. Waktu saya memcoba masuk lewat peron yang berharga Rp 2.500, ada
barisan panjang para penumpang lain. Cepat saja saya lari dengan tas yang berat
menuju tempat keluar. Sambil melawan arus, saya dicegat Satpam yang menyuruh
saya masuk lewat peron. Saya berdalih bahwa HP saya yang satu ketinggalan di
teman saya di dalam (sambil tetap memegang HP yang lain di tangan kanan).
Satpam tidak mau melepas saya lalu dia mennyakan tiket saya yang buru-buru
tidak bisa ditunkjukkan karena dipegang oleh teman di dalam kereta api. Saya
berdalih lagi. Kemudian Satpam sedikit melemah sambil memintah saya menunjukan
kartu identitas. Betapa terkejutnya saya
(dan satpam) ketika saya menurunkan
tas yang berat dan menyadari bahwa itu bukan tas saya dan tentu dompet saya
masih ada di dalam kereta api bersama tas dan teman juga HP yang fiktif. Kali
ini saya tidak punya cara lain kecuali menelepon teman saya dengan HP yang riil
yang tentu saja akan membuat teman akan turun dari kereta api. Melihat ekspresi
saya yang lebih riil dari HP yang ada di dalam kereta api, ahirnya Satpan
benar-benar membiarkan saya masuk namun harus cepat. Segera saya lari dengan HP
riil tetap di telinga dan menelepon teman dan kemudian satu tali ransel
terputus karena kelebihan beban sambil saya berteriak terima kasih kepada
satpam.
Sampai di dalam kereta, kami bingung karena
rencana kami untuk beli tiket ekonomi yang harganya Cuma Rp 30.00 gagal. Belum
lagi kami binggung mencari jalan alternative menuju Jakarta. Kami turun dari
kereta api kemudian teman yang lain menelepon teman saya. Dia memerintah untuk
beli tiket ke Purwokerto untuk 3 orang. Teman saya langsung berlari keluar
stasiun untuk memberli tiket, saya pastikan dia membawa dompet sendiri, tiket
sendiri, HP riil-nya, dan titipan salam kepada pak Satpam. Kami memegang 3
tiket sambil mencari kereta yang akan membawa kami ke Purwolerto yang ternyata
adalah kereta yang sama waktu kami turun. Saya mengarankan untuk tidak duduk di
tempat tadi karena harga diri kami akan terkoyak setelah tadi saya sempat turun
dan naik lagi dan membawa teman saya turun bersama dan kemuadian bersama-sama
naik lagi. Tapi ujian mental tidak diberikan manusia, Tuhan sengaja
mengosongkan bangku tempat kami tadi duduk. Teman saya yang kedua datang dan
kemudian kita bertiga membawa tiket masing-masing sambil membicarakan strategi
selanjutknaya menuju Jakarta dari Purwokerto.
Seharian kami ada diatas kereta api jam
makan siang terpaksa terlambat karena kami mau makan siang pecel di Madiun yang
berupa nasi sayur dan makanan lengkap. Kami terus berada di atas kereta
melewati stasiun-stasiun kecil dan kota-kota yang jadi daftar tujuan wisata
bagi orang di seluruh dunia. Klaten…Prambanan…Jogja(sialaaaan), Solo(sialaaaan
super) dan saya memutuskan tidur siapa tahu saya cuma mimpi. Matahari sudah
absen dari langit dan teman kami membangunkan kami bahwa kami bisa sampai ke
Jakarta dengan tiket ekonomi AC seharga Rp 120.00 atau naik bis dari
Purwokerto. Dengan uang di kantong tentu saja kamimemilih untuk naik bis saja,
keputusan itu kami ambil karena kami juga mendengar rumor bahwa tiket kereta
ekonomi juga sudah habis. Salah seorang pegawai di kereta api memberi saran
agar kami berhenti satu stasiun sebelum Purwokerto karena bis menuju Jakarta
lewat di kota itu sementara jarak antara stasiun kereta api Purwokerto dan terminal
bis sangat jauh.
Kami berhenti di kota yang saya pribadi
belum tentukan sebagai tujuan wisata. Kota yang baru itu saya injak dan saya
kenal namanya “Gombong”. Kami keluar dari stasiun melewati kerumunan tukang
ojek, tukang becak dan sopir angkot yang menawarkan jasa. Waktu menunjukkan
pukul 11 malam dan kami harus menyegerakan makan malam. Di warung di Gembong
ini kami berbicang dengan penjual nasi. Dia berkata bahwa bis menuju Jakarta
akan berangkat pagi hari dan tidak ada bis malam menuju Jakarta. Kami hanya
tiga orang yang ahirnya fokus pada rasa lapar dan pura-pura tidak peduli dengan
beberapa berita yang tadinya kami anggap bohong tetapi ternyata benar.
Dari warung di Gombong, kami harus naik bis
untuk ke stasiun Purwokerto yang katanya jauh dari stasiun Purwokerto. Dari
info ibu penjual nasi, kami juga baru tahu bahwa butuh waktu 2 jam
Gombong-Purwokerto. Kami tertawa terbahak-bahak sambil menunggu bis lebih
karena kami ingin menghibur diri. Namun saya dan teman sama-sama menguatkan
saling berkata.
“Kita tidak pernah mengambil keputusan yang
salah. Ini adalah pilihan jalur yang benar sesuai kantong kita. Tidak ada yang
harus disesali. Yang penting saya tidak sendirian.”
Benar saja, sesampai di terminal Purwokerto
tidak ada bis menuju Jakarta. Kami berpencar mencari informasi jalan alternatif
yang dapat mengantarkan kami ke Jakarta pagi hari. Teman yang lain menemukan
bahwa bis jam 2 dini hari yang beroperasi menuju Bandung dan sesampainya di
Bandung kami bisa naik bis ke Jakarta. Ke Bandung adalah jalan satu-satunya,
tidak ada jalan lain.
Saya yang paling tidak tidur nyenyak,
sambil berkali-kali bertanya kepada kondektur bis di mana seharusnya kami
berhenti. Pukul 5 pagi, kondektur menyarankan untuk turun di pertigaan. Saya
langsung dorong saja teman saya yang tidur kelewat lelap. Teman bertanya dimana
kami sekarang, saya menjawab “Cileunyi”. Kemudian saya menyikut bagian belakang
tasnya sambil menunjuk persimpangan bis tadi melaju “Bandung disitu.”
Saya berkata “disitu” bukan “disana” karena
jaraknya memang dekat. Bandung (tempat tujuan wisata lagi yang saya umpat.)
Kami tiba di Jakarta (yang riil) pukul 8
pagi. Sementara kami harus sampai di tempat tujuan sebelum jam 3 siang,
antusias saya sudah turun. Walaupun Pulau Gadung-Jakarta yang saya injak mirip
sekali dengan pencitraan di TV. Berbagai kendaraan umum dengan berbagai warna,
bentuk dan ukuran lewat lalu lalang. Orang-orang berlari menuju kendaraan
tersebut, sebagian keluar dengan berlari juga. Jalan yang sebenarnya luas
menjadi sesak. Ada banyak jenis manusia yang bisa dikenali dari atribut
berpakaian dan usia mereka. Tujuan mereka tentu saja berbeda, kecuali satu,
mencari materi di kota yang menawarkan kemudahan mencapai kelas sosial yang
lebih tinggi. Sebagian pergi kerja dan yang lain pergi kuliah agar dapat
pekerjaan yang lebih baik. Saya juga salah satu dari orang yang “persuit of
happiness” saat itu. Saya juga berjuang mencari pekerjaan yang lebih baik agar
memiliki kesempatan yang lebih pula. Namun diantara banyak kerumunan tersebut,
saya bertanya “Apakah saya bisa menemukan cinta di tempat yang semua orang
sepertinya tidak menawarkan.” Di Jakarta dimana tiket kereta api dari Surabaya
habis dan kenyataannya memang dibatasi oleh pemerintah untuk membatasi arus
balik mudik yang memungkinkan Jakarta kembali sesak. Tapi saya adalah salah
satu dari pemudik arus balik Lebaran. Ini kali pertama saya ke Jakarta. Mencari
uang atau mencari cinta? Mungkin memaknai uang dengan cinta. Kenyataannya
memang demikian. Saya yang seharusnya sampai di Jakarta dengan biaya Rp 60.000.
Harus melakukan apa yang mereka percaya “Nekat” untuk sampai di Jakarta dengan
biaya tranportasi yang tidak terduga dan jalur yang aneh. Surabaya-Gombong (Rp
30.000). Gombong-Purwokerto (Rp 10.000), Purwokerto-Cileunyi (Rp 45.000), Cileunyi-Pulau
Gadung (Rp 30.000).
Teman yang lain bertanya kepada beberapa
orang bagaimana kami bisa sampai di alamat yang kami tuju. Beberapa orang
tersebut memberi jawaban yang berbeda. Kami sudah terlalu lelah dengan menuruti
perintah orang. Kemudian teman saya yang satu menunjuk ruang mirip koridir
Rumah Sakit.
“Busway”
tertawa sejak awal membaca......ochi....yg tergiang di otakq....kdang,aq pun mrindukan saat2 konyol bersama teman2....myenangkan.....
BalasHapus@Ulfa: ayo, bun Mblolang bareng sama kita-kita. hahahahah
BalasHapusaq sempet mandi kembang di terminal purwokerto coz smoga perjalanan dapat berjalan dengan lancar....
BalasHapusbtw kapan brangkat lagi nich
@ableeh: wahahahaha. jadi karena kamu kita selamet nyampe ke Jakarta. memang ternyata kamu yang bawa sial
BalasHapusseru banget kak :)
BalasHapustak kan kulupa selamanya. Kapan kita jalanjaln lagi, Ira
BalasHapusherman aku.,..
BalasHapusmasih ada orang kayak gini.
lanjutkan...
hidup bolang....
hehehe never ending story.....
BalasHapusayo ikut mbolang...
we only live once