Laman

Rabu, 18 Juli 2012

Argopuro (Mata Air Pertama)

Perjalanan dimulai setelah kami berempat sarapan. Kebetulan ada warung nasi di dekat post keberangkatan pertama. Setelah berpamitan dengan dua orang penjaga, kami diberi surat ijin untuk berangkat.(surat ijin perkelompok wajib membayar kontribusi sebesar Rp 20.000).

Perjalan hari pertama kami ditemani oleh sinar matahari yang panas menyengat. Mungkin ini juga akibat dari doa kami yang meminta supaya hujan tudak turun karena akan mempersulit perjalanan. Tidak ada pohon rindang di kanan kiri perjalanan layaknya lagu "Naik-naik ke puncak gunung". Lanscape dihiasi dengan ladang penduduk dan kegiatan peradapan yang masih ramai. Jalan dibawah adalah cadas dan batu-batu besar sementara dikanan-kiri adalah jurang dan ladang penduduk. Penduduk selisih jalan di depan kami atau setelah meruput dari tanah yang lebih tinggi. Tanahnya bisa dilewati satu arah. Bila ada orang dari seberang atau sepeda motor akan lewat, maka kami harus bertepi.
Jalan bendungan
Untuk pengairan sawah dan sanitasi penduduk


Jalan dari kaki gunung ini cukup landai dan tidak terlalu menanjak. Namun jalannya lebih panjang dibandingakn jika melewati kaki gunung di Probolinggo. Jalan ini seumpama memanasan dan penyesuaian dari kehidupan yang adil dan beradap menuju kekehidupan yang adil tanpa peradapan. Semakin jauh kami melangkah semakin luas perkebunan penduduk, semakin sedikit rumah dan gunug, semakin kami tidak mengali tumbuhan disekitar.

Kami berhenti di salah satu rumah penduduk pasangan suami istri yang sudah tua, hidupnyapun hanya berdua tapi di gubuk mereka juga ada jendela. Sepasang petani tembakau yang hidupnya berpindah-pindah. Di depan gubugnya ada kandang kambing dan juga ada kucing hitam berbulu kelewat panjang (mungkin karena cuaca disana lebih dingin) milik mereka. Di seberang lain rumah ada sumber mata air, itu alasannya mengapa kami berhenti untuk mengisi ulang air dan beristirahat sambil bercengkerama dengan pasutri tersebut.
Rumah dengan kucing hitam.

Gubug sang pasutri hampir jadi gubug terahir karena setelahnya kami hanya menemui satu gubug yang kemungkinan ada orangnya dan banyak gubug kosong lain. Perjalanan ini adalah perjalanan yang sangat lambat, matahari jelas-jelas menyengat dan jalan perkebunan terkesan lama-lama membosankan karena panjang. Belum lagi waktu istirahat yang aneh yaitu berjalan 60 menit berbanding istirahat 15 menit. Pasport yang diucapkan adalah. "Sak rokokan yo?"

Perkebunan sudah habis. Matahari sedikit condong saya tidak tahu ke arah mana dan kami mulai kelaparan. Kami bertemu pencari 2 kayu dan istirahat lagi. Jalan di depan sudah mulai bercabang menyesatkan. Sayang kan tidak mungkin ada satupun jalan tersebut yang menuju minimarket atau restoran siap saji. Kami memutuskan untuk berjalan dengan jarak pendek satu sama lain, jika teman yang ada didepan tidak kelihatan batang pantatnya maka yang belakang berhak mengingatkan.
Huaaaam makan dulu. Lapar.

Matahari semakin miring dan kali ini saya tahu ke arah mana dan kami semakin banyak berhenti dan istirahat. Selama kelakar kami juga sudah mulai kering. Disaat lelah seperti ini kami selalu bertanya "mengapa kita harus susah-susah berlibur mendaki gunung?
Bukannya di rumah lebih enak? Bisa pergi kemana-mana dengan sepeda motor dan makan sepuas-puasnya? Mengapa harus menyiksa diri? Kulit terbakar dan keringat bau."

Kapten kami berkata bahwa mata air sudah dekat dan perjalanan terpanjang memang perjalanan hari pertama. Selanjutnya perjalanan akan lebih pendek. Saya dan Wulan memang kali pertama mendaki Pegunungan Argopuro. Sementara Kapten Grandogn dan Yongki sudah pernah sebelumnya.

Hampir magrib dan saya sudah lupa tentang dimana matahari, yang saya tahu adalah hari sudah gelap dan keringat kami tak sepanas tadi. Hawa semakin dingin. Grandong bertemu orang diatas pohon (sumpah orang) yang menyapa dan memberinya "Janggut Dewa". Janggut Dewa semacam tumbuhan parasit yang mirip lumut namun kering dan tidak padat. Bentuknya panjang seperti jenggot. Tumbuhan ini tumbuh di pohon tua atau pohon yang sudah tumbang. Menurut orang tua yang memanen Janggut Dewa itu, rumput ini bisa diseduh dengan air untuk menguatkan tubuh dan mengurangi efek panas dalam.

Tepat ketika kami menemukan gundukan dan portal bertuliskan "Mata Air Pertama" yang sepertinya saya baca "Selamat Bung Anda Layak Dapat Bintang"

Kami berada di tempat yang adil dan jauh dari peradaban, kali ini tanpa matahari. Semua yang terjadi kemudian benar-benar adil dan bijaksana. Berada di alam berarti berada di hal-hal yang alamia. Pembagian tugas terjadi sangat alami tanpa kami. Saya dan Wulan turun ke celah dekat plang menuju mata air pertama untuk mengambil air. Yongki dan Grandong membangun tenda. Kemudian ketiganya bingung dengan barangnya masing-masing dan Kapten Grandong menanak nasi dan membuat minuman Janggut Dewa.

Hari sudah malam kami sudah makan dan ganti baju bersiap untuk tidur Kami kenyang dan Jenggot Dewa ternyata rasanya pahit, kecuali jika dicampur teh atau kopi. Nanti, Jengot Dewa akan puya nama sendiri yang kami ganti karena rasanya yang pahit. Dari jauh terdengar suara bungkus kue yang bergerak-gerak. Segera pukul arah sampah dengan sinar senter, ternyata ada semacam sigung yang menjulati bungkus kue itu. Kulitnya hitam dan panjang. 

Tengah hari saya terbangun, keluar tenda untuk buang air. Saya rogoh seluruh tenda mencari senter sampai saya menyerah karena kebelet dan langsung keluar tenda. Saya terkejut melihat semua diluar tenda sangat terang, bintang diatas rapat-rapat sebanyak ayah saya menghidangkan kopi. Ada banyak sekali dan semua bersinar. Saya tidak pernah melihat bintang dengan jumlah sebanyak itu. Berdiam sekitar 30 menit ditenda menikmati suasana langit, tiga orang lainnya ada di dalam. Saya tidak tega membangunkan karena mereka lelah, hawa diluar dingin. Lalu saya sadar bahwa udara di luar memang dingin dan saya lelah. Saya harus segera masuk tenda istirahat untuk perjalanan besok.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar