Laman

Jumat, 28 September 2012

Argopuro (Menuju Cikasur)

Hari ini dimulai agak cepat. Tugas sudah dibagi dan pekerjaan harus selesai lebih awal. Ini sarapan pagi kami dengan menu masak sendiri setelah kemaren malam kami juga memasak sendiri. Kapten Grandong juga chef yang baik, dia satu-satunya dalam kelompok yang bisa menanak nasi dengan nilai sempurna. Memasak di pagi hari harus memenuhi standar gizi empat sehat lima sempurna, namun juga tidak bisa terlalu kompleks karena waktu yang harus dihemat. Segera pula tenda dirobohkandan carrier dirapikan. Perjalanan kali ini akan berat dan tetap menanjak.
Persiapan Berangkat ke Cikasur
 
Rencana Yongki dan Grandong adalah berjalan menuju alun-alun untuk
memasak makan siang. Jelas hanya berjalan 2 menit saya sudah kelelahan lagi. Namun hari ini seluruh jalan rindang dilindungi pohon-pohon tinggi. Meskipun ada matahari terlihat namun tak mampu menyengat kami. Konsekuensi lain yang dapat adalah angin  dingin yang meniup tubuh yang basah dibalut keringat membuat tubuh jadi menggigil.

Tepat ditengah perjalanan, kami berhenti untuk ambil gambar. Di kanan kiri ada lautan bunga putih kecil berkelompok, sementara pohon-pohon lebih besar dari pelukan dan jika kami mendekat di depannnya maka unjungnya tak bisa kelihatan. 
Disambut kabut

Kabut dari arah berlawanan berjalan seperti ruh selamat datang. Menampar, tampak, terasa dingin namun tak bisa digenggam. Seperti kamu diingatkan ada hal besar yang hanya bisa dirasa boleh indra tapi tidak boleh kau jadi pemiliknya.

Dari matahari diatas, saya bisa mengira bahwa siang sudah pukul 12 lewat seperempat tepat ketika kamu sampai di alun-alun. Alun-alun seperti halnya alun-alun adalah padang tanpa rumput tanpa alang-alang hanya hamparan tanah luas dengan beberapa pohon besar melingkari dan satu pohon ada ditengahnya. Kami pergi ke pohon di tengah dan mengambil tempat memasak makan siang.

Tidak banyak makan waktu, semua harus berjalan lagi meninggalkan alun-alun yang ditandai dengan bunga dandelion besar. Ukurannya tidak seperti dandelion yang pernah saya lihat dimanapun. Masih ada jalan setengah lagi di depan sebelum sampai Cikasur, sebelum matahari benar-benar absen.

Sore hari, saat badan sudah hampir menyerah, kami disambut dengan gundukan savana. Cantik, coklat dan emas karena matahari yang mulai lelah juga seperti kami. Di savana yang ke dua saya melihat merak terbang melompat dikejar oleh merak lain. merak ini merak jantan yang tidak mampu melompat jauh karena ekor panjangnya menempal di belakang. Karena saya ada di tengah sendiri dan beberapa teman ada di depan dan belakang, saya berhenti sejenak. Melihat sekeliling pemandangan sama seperti kabut tadi yang cuma bisa saya lihat tapi tak bisa saya bawa pulang untuk cindera mata. Sambil menunggu teman di belakang dan jeritan panggilan teman di depan, saya hanya mengingat orang-orang yang seharusnya ada di sana dan menikmatinya juga.
Savana Sore yang Emas

Tiga savana di depan dan bunyi dari unggas merak yang sahut-ahutan, kami sampai di Cikasur. Sungai kecil dari mata air yang ditumbuhi arnong di sekitarnya. Kami membangun tenda di ceruk antara lembah menghindari angin malam yang meniup di atas dataran luas tempat yang dulu bandara udara tentara koloni dengan bangunan yang sudah runtuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar