Laman

Kamis, 19 Januari 2012

Label. Makna Tak Henti.

Hari itu, teman saya menggungkapkan kegelisahan dan ketakutannya. Tidak bisa disalahkan,  dia berjuang di medan yang sangat berat dan menangani isu berat. Rumah Lina ada di NTB. Dia mengorganisir isu tentang seksualitas dan penangan jumlah penduduk (Sexuality and Population). Tidak mudah karena di tanah itu,  mayoritas penduduknya adalah Muslim konservatif, sementara Nita adalah Muslim yang liberal.

Mungkin saya harus hati-hati menyebut dia liberal, karena dia sendiri takut dilabeli liberal.
Tapi tahukah kau, Nit. Jangan pernah takut dengan label, karena kita sebenarnya lebih dari label itu (kata sahabat saya Lintang).


Kita adalah generasi campuran yang kehilangan pusat karena pusat kita tersebar dan plural dan ada di mana-mana (begitu kata kajian para posmoik macam. Label itu terinternalisasi dalam diri bukan hanya kulit sahaja.

Saya adalah feminis liberal.
Seperti Wollstonecraft, John Struart Mill dan lain-lain, tentu saja saya feminis liberal karena perjuangan yang dilakukan masih membebaskan hak dan kewajiban yang setara dan kesadaran gender di masyarakat. Domestivikasi masih menjadi hantu dalam perjuangan, karena seperti laki-laki, perempuan juga punya logos dan nalar yang sama dengan laki-lagi. Budaya dan nilai-nilai yang membuat kemampuan ini tidak berkembang pada perempuan (Betty Friedan).

Saya adalah feminis yang radikal. SepertiMarry Daly, Kate Millet, dan teman-temannya saya juga memulai pemikiran dari hal yang radict (berakar). Seksualitas dan tubuh adalah hak semua perempuan. Negara tidak berhak mengendalikan dan melakukan represi terhadap tubuh perempuan hanya karena negara ingin terlihat hebat dan gagah. Masalah seksual adalah masalah pribadi. Untuk itu kita mendukung perjuangan LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexal, Transgender, Intersex and Queer) agar SOGI (Sex Orientation Gender Identity) diakui sebagai hal yang wajar.

Saya adalah feminis yang konservatif: Saya juga bukan pendukung aborsi dan saya juga ingin menikah dan punya anak serta menikmati menghidupi rumah dan karir serta keluarga suami dan anak.

Kemudian bahkan label feminisme dalam diri juga menjadi hal yang tidak utuh dan paripurna. Bukan karena menolaknya atau tidak menerimanya, tetapi sama seperti label yang lain bahwa saya “Muslim, Jawa, Female, Masuk kuliah, Kelas Menengah” juga menjadi modal yang pemaknaannya akan terus berlanjut.

Karena kita manusia yang tidak pernah dilahirkan tapi dibentuk (Kutipan dalam Novel Dunia Sophie). Maka kita sebernarnya berdiri di dua kutup binari oposisi yang kutubnya sangat jauh.
Kita adalah perempuan yang lembut tapi kuat, halus tapi keras, baik tapi culas, berani tapi sering meragu, penuh kasih sayang tapi tegas dan banyak kata sifat lain yang melabeli kita.

Nita, Ajeng, Midha.
Saat aksi damai di Yogjakarta.

Maka jangan takut dengan label dari luar. Seperti kata Aquarini  bahwa perempuan tidak akan menemukan bentuk tunggalnya yang abadi.Kita akan terus mencari-menemukan-dilabeli-dimaknai-dimaknai ulang-dilabeli lagi-dan terus berulang...tak henti-henti. Aquarini juga bilang bahwa feminisme adalah pohon besar dimana ada banyak cabang-cabang yang memiliki ranting lagi. Kita adalah bagian dari pohon besar itu.

Jangan takut Nita. We are part of young feminism. Pemaknaan dan pencarian kita masih panjang dan tantangan di depan tidak sedikit, yang banyak adalah dukungan dari kami (para calon-ex-young-fem. Hehehehehehehe.)

Semangat, adekku, seperti kau menakhlukkan Rinjani.

2 komentar: