Hari itu, teman saya
menggungkapkan kegelisahan dan ketakutannya. Tidak bisa disalahkan, dia berjuang di medan yang sangat berat dan menangani
isu berat. Rumah Lina ada di NTB. Dia mengorganisir isu tentang seksualitas dan penangan jumlah penduduk (Sexuality and Population). Tidak mudah karena di tanah itu, mayoritas penduduknya adalah Muslim
konservatif, sementara Nita adalah Muslim yang liberal.
Mungkin saya harus
hati-hati menyebut dia liberal, karena dia sendiri takut dilabeli liberal.
Tapi tahukah kau, Nit.
Jangan pernah takut dengan label, karena kita sebenarnya lebih dari label itu
(kata sahabat saya Lintang).
Kita adalah generasi
campuran yang kehilangan pusat karena pusat kita tersebar dan plural dan ada di
mana-mana (begitu kata kajian para posmoik macam. Label itu terinternalisasi
dalam diri bukan hanya kulit sahaja.
Saya adalah feminis
liberal.
Seperti Wollstonecraft, John Struart Mill dan lain-lain, tentu saja saya feminis liberal karena perjuangan yang dilakukan masih membebaskan hak dan kewajiban yang setara dan kesadaran gender di masyarakat. Domestivikasi masih menjadi hantu dalam perjuangan, karena seperti laki-laki, perempuan juga punya logos dan nalar yang sama dengan laki-lagi. Budaya dan nilai-nilai yang membuat kemampuan ini tidak berkembang pada perempuan (Betty Friedan).
Seperti Wollstonecraft, John Struart Mill dan lain-lain, tentu saja saya feminis liberal karena perjuangan yang dilakukan masih membebaskan hak dan kewajiban yang setara dan kesadaran gender di masyarakat. Domestivikasi masih menjadi hantu dalam perjuangan, karena seperti laki-laki, perempuan juga punya logos dan nalar yang sama dengan laki-lagi. Budaya dan nilai-nilai yang membuat kemampuan ini tidak berkembang pada perempuan (Betty Friedan).
Saya adalah feminis yang
radikal. SepertiMarry Daly, Kate Millet, dan teman-temannya saya juga memulai
pemikiran dari hal yang radict (berakar). Seksualitas dan tubuh adalah hak
semua perempuan. Negara tidak berhak mengendalikan dan melakukan represi
terhadap tubuh perempuan hanya karena negara ingin terlihat hebat dan gagah.
Masalah seksual adalah masalah pribadi. Untuk itu kita mendukung perjuangan
LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexal, Transgender, Intersex and Queer) agar SOGI (Sex
Orientation Gender Identity) diakui sebagai hal yang wajar.
Saya adalah feminis yang
konservatif: Saya juga bukan pendukung aborsi dan saya juga ingin menikah dan
punya anak serta menikmati menghidupi rumah dan karir serta keluarga suami dan
anak.
Kemudian bahkan label
feminisme dalam diri juga menjadi hal yang tidak utuh dan paripurna. Bukan
karena menolaknya atau tidak menerimanya, tetapi sama seperti label yang lain
bahwa saya “Muslim, Jawa, Female, Masuk kuliah, Kelas Menengah” juga menjadi
modal yang pemaknaannya akan terus berlanjut.
Karena kita manusia yang
tidak pernah dilahirkan tapi dibentuk (Kutipan dalam Novel Dunia Sophie). Maka
kita sebernarnya berdiri di dua kutup binari oposisi yang kutubnya sangat jauh.
Kita adalah perempuan
yang lembut tapi kuat, halus tapi keras, baik tapi culas,
berani tapi sering meragu, penuh kasih sayang tapi tegas dan banyak kata sifat
lain yang melabeli kita.
Nita, Ajeng, Midha. Saat aksi damai di Yogjakarta. |
Maka jangan takut dengan
label dari luar. Seperti kata Aquarini
bahwa perempuan tidak akan menemukan bentuk tunggalnya yang abadi.Kita akan
terus mencari-menemukan-dilabeli-dimaknai-dimaknai ulang-dilabeli lagi-dan
terus berulang...tak henti-henti. Aquarini juga bilang bahwa feminisme adalah
pohon besar dimana ada banyak cabang-cabang yang memiliki ranting lagi. Kita
adalah bagian dari pohon besar itu.
Jangan takut Nita. We are
part of young feminism. Pemaknaan dan pencarian kita masih panjang dan
tantangan di depan tidak sedikit, yang banyak adalah dukungan dari kami (para
calon-ex-young-fem. Hehehehehehehe.)
Semangat, adekku, seperti
kau menakhlukkan Rinjani.
Ini keren..!
BalasHapusMenarik!
BalasHapus