Beruntung saya
memiliki pekerjaan paruh waktu selain pekerjaan utama. Pekerjaan ini bisa
dikerjakan di rumah, jadi walaupun seminggu harus bed rest, saya bisa
menyelesaikan pekerjaan di atas tempat tidur. Seminggu setelah bisa makan
makanan yang lebih bervariasi, seorang teman mengajak saya makan ketoprak
favoritnya.
Saya belum pernah makan ketoprak, karena lahir dan besar di Jawa Timur,
ketoprak adalah hal yang kami lihat, bukan dimakan. Tapi karena teman saya
menjelaskan bahwa ketoprak adalah makanan yang ramah vegetarian, maka
ketertarikan saya semakin menjadi-jadi.
Hari itu hari rabu,
kami harus antri ditengah-tengah orang kantoran yang sedang makan siang.
Beberapa orang dating dan pergi, sehingga kami harus berebut kursi. Beruntung
pria di dekat tempat saya berdiri terlihat tergesa dan meninggalkan kursi.
Percayalah, setelah sakit kemudian dalam proses penyembuhan harus berdiri
dengan sepatu jinjit 5 centimeter, dunia menjadi hal yang kurang menyenangkan. Anak
kecil seusia sepuluh tahun membersihkan meja. Setelah ketoprak dihidangkan saya
tidak ingat apa-apa kecuali porsinya yang kelewat besar dan perut saya masih
dalam proses penyesuaian jumlah makanan.
Tapi toh saya
ketagihan ingin makan ketoprak lagi, bukan hanya karena vegetarian punya jenis
makanan yang terbatas tapi beberpa varian makanan yang berbumbuh kacang memang
enak dan menjadi favorit saya. Hari minggu yang lain, teman saya mengajak ke
tempat yang sama, berharap hari ini perut sudah ekspan ukurannya.
Karena warung yang
kami kunjungi berada di tengah kota, kami berbekal persiapan kecewa jika nanti
harus antre. Warung ini hanya berupa rombong tak tetap di bibir trotoar, ada
dua meja panjang, tiap meja ditemani delapan kursi, empat dikiri dan empat yang
lain berhadapan di depannya. Penjualnya adalah seorang ibu-ibu dengan ibunya
(anggap saja nenek karena sebenarnya tidak terlalu tua). Sewaktu-waktu ada
lelaki tukang becak yang membantu mereka. Dari kontak bicara dan peran yang
dilakukan, lelaki ini adalah istri dari nenek. Gadis 10 tahun yang membawa
piring kotor dan membersihkan meja adalah anak dari ibu penjual dan masih ada
satu lagi, adik perempuan yang umurnya mungkin 10 tahu.
Benar saja kami harus
antre, tapi karena hari itu hari minggu ternyata antrinya lebih panjang
daripada hari aktif. Namun kedua
perempuan dewasa penjual Ketoprak sangat cekatan, mereka tidak pernah berhenti,
sesekali secara bergantian, mereka berhenti sejenak menuju pengunjung yang
hanya 3 langkah dari rombong dan menawarkan minuman. Namun jika si kakek sedang
tidak menarik becak, tugas menawarkan dan membuat menjadi perannya. Tapi
kadang-kadang dia menghilang jika ada penumpang. Hanya adik perempuan yang
tidak memiliki peran, hanya menemani kakaknya melakukan tugas, namun tidak
pernah membawakan piring.
Jam 12 sudah kelebihan
dan jumlah pengunjung semakin berkurang. Adik kecil merengek pada ibu
mengatakan bahwa dia lapar. Dia minta beli mie untuk makan. Setelah
bernegosiasi dengan nenek ahirnya ibu memberi uang dengan syarat bahwa sore
nanti dia sudah tidak boleh jajan lagi. Ibu memberi uang lebih karena ibu minta
dibelikan bakso. Pada saat itu, kami berdua dapat tempat duduk berhadapan
langsung ke rombong.
Ketoprak sudah
tersedia ketika adik dating membawa dua bungkusan. Awalnya saya mengirah yang
dia maksud adalah mie ayam atau mie pangsit. Tapi ternyata hanya mie instan
yang diremukkan dan dicampur bumbunya bahkan bungkusnya tetap bungkus mie
instan tersebut. Adik memberikan bungkus satunya dengan minta maaf karena harga
mie yang dia beli sekarang naik menjadi 2 ribu rupiah sehingga bakso yang tadi
dibelipun jadi lebih sedikit.
Kami berdua terus makan ketoprak sambil berbisik-bisik
kadang menebak berapa harga mie instan diremas sebelumnya dan berapa untung
yang didapat penjual setalah harganya naik 2 ribu rupiah, mengingat tingkat
kesulitan mengolah makanan mie instan remas.
Ibu hanya marah,
melarang adik membeli lagi besok hari, sementara dia memanggil kakak. Rombong
sudah mulai sepi, ibu dan kakak makan bakso, menguatkan kakak agar tidak iri
dengan adiknya. Sambil mengatakan dia memerintah kakak mendekat dan berbagi
bakso dengan kakak. Nenek masih sibuk mengulek ketoprak, melayani beberapa
pembeli yang tersisa, kakek tidak ada ditempat, mengantar pelanggan. Mungkin
setelah ini, giliran nenek makan siang, entah dengan menu apa. Yang pasti bukan
mie instan remas. Beberapa jarak didepannya saya dan rekan saya kenyang luar
biasa.
Dalam perjalanan
pulang, saya masih berpikir, mengapa saya melihat kakak hari rabu pertama kali
saya makan disana dan pada hari minggu yang lain. Sepertinya kakak tidak
sekolah.
Jika teman saya makan dengan teman yang lain,
mungkin hari itu akan jadi pemaparan tentang permiskinan struktral di
Indonesia, pelarangan buruh anak, dan statiktik angka anak jalanan yang semakin
meningkat.
Hari ini saya makan
siang dengan teman yang asik, kami hanya melihat sebuah keluarga yang pindah
rumah, seperti keluarga tidak tetap namun selalu bersama. Adik kecil yang manja
dan selalu tidak sengaja membuat masalah, ibu yang menjadi mediator dalam ada
konflik, kakak yang mau paham dan punya peran besar dalam mengoperasikan bisnis
keluarga (cieeeh “Bisnis Keluarga”…. Tapi bener kan), nenek yang mendukung dan
menjadi motor, serta kakek yang mencari pekerjaan lain namun tetap tinggal dan
membantu keluarga. Semuanya bergerinda menjadi roda yang menggerakkan. Ternyata
syarat menjadi keluarga adalah melakukan peran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar