Laman

Jumat, 01 Maret 2013

Keluarga Pindah

Beruntung saya memiliki pekerjaan paruh waktu selain pekerjaan utama. Pekerjaan ini bisa dikerjakan di rumah, jadi walaupun seminggu harus bed rest, saya bisa menyelesaikan pekerjaan di atas tempat tidur. Seminggu setelah bisa makan makanan yang lebih bervariasi, seorang teman mengajak saya makan ketoprak favoritnya.


Saya belum pernah makan ketoprak, karena lahir dan besar di Jawa Timur, ketoprak adalah hal yang kami lihat, bukan dimakan. Tapi karena teman saya menjelaskan bahwa ketoprak adalah makanan yang ramah vegetarian, maka ketertarikan saya semakin menjadi-jadi.

Hari itu hari rabu, kami harus antri ditengah-tengah orang kantoran yang sedang makan siang. Beberapa orang dating dan pergi, sehingga kami harus berebut kursi. Beruntung pria di dekat tempat saya berdiri terlihat tergesa dan meninggalkan kursi. Percayalah, setelah sakit kemudian dalam proses penyembuhan harus berdiri dengan sepatu jinjit 5 centimeter, dunia menjadi hal yang kurang menyenangkan. Anak kecil seusia sepuluh tahun membersihkan meja. Setelah ketoprak dihidangkan saya tidak ingat apa-apa kecuali porsinya yang kelewat besar dan perut saya masih dalam proses penyesuaian jumlah makanan.
Tapi toh saya ketagihan ingin makan ketoprak lagi, bukan hanya karena vegetarian punya jenis makanan yang terbatas tapi beberpa varian makanan yang berbumbuh kacang memang enak dan menjadi favorit saya. Hari minggu yang lain, teman saya mengajak ke tempat yang sama, berharap hari ini perut sudah ekspan ukurannya.

Karena warung yang kami kunjungi berada di tengah kota, kami berbekal persiapan kecewa jika nanti harus antre. Warung ini hanya berupa rombong tak tetap di bibir trotoar, ada dua meja panjang, tiap meja ditemani delapan kursi, empat dikiri dan empat yang lain berhadapan di depannya. Penjualnya adalah seorang ibu-ibu dengan ibunya (anggap saja nenek karena sebenarnya tidak terlalu tua). Sewaktu-waktu ada lelaki tukang becak yang membantu mereka. Dari kontak bicara dan peran yang dilakukan, lelaki ini adalah istri dari nenek. Gadis 10 tahun yang membawa piring kotor dan membersihkan meja adalah anak dari ibu penjual dan masih ada satu lagi, adik perempuan yang umurnya mungkin 10 tahu.
Benar saja kami harus antre, tapi karena hari itu hari minggu ternyata antrinya lebih panjang daripada hari aktif.  Namun kedua perempuan dewasa penjual Ketoprak sangat cekatan, mereka tidak pernah berhenti, sesekali secara bergantian, mereka berhenti sejenak menuju pengunjung yang hanya 3 langkah dari rombong dan menawarkan minuman. Namun jika si kakek sedang tidak menarik becak, tugas menawarkan dan membuat menjadi perannya. Tapi kadang-kadang dia menghilang jika ada penumpang. Hanya adik perempuan yang tidak memiliki peran, hanya menemani kakaknya melakukan tugas, namun tidak pernah membawakan piring.

Jam 12 sudah kelebihan dan jumlah pengunjung semakin berkurang. Adik kecil merengek pada ibu mengatakan bahwa dia lapar. Dia minta beli mie untuk makan. Setelah bernegosiasi dengan nenek ahirnya ibu memberi uang dengan syarat bahwa sore nanti dia sudah tidak boleh jajan lagi. Ibu memberi uang lebih karena ibu minta dibelikan bakso. Pada saat itu, kami berdua dapat tempat duduk berhadapan langsung ke rombong.
Ketoprak sudah tersedia ketika adik dating membawa dua bungkusan. Awalnya saya mengirah yang dia maksud adalah mie ayam atau mie pangsit. Tapi ternyata hanya mie instan yang diremukkan dan dicampur bumbunya bahkan bungkusnya tetap bungkus mie instan tersebut. Adik memberikan bungkus satunya dengan minta maaf karena harga mie yang dia beli sekarang naik menjadi 2 ribu rupiah sehingga bakso yang tadi dibelipun jadi lebih sedikit.

Kami berdua  terus makan ketoprak sambil berbisik-bisik kadang menebak berapa harga mie instan diremas sebelumnya dan berapa untung yang didapat penjual setalah harganya naik 2 ribu rupiah, mengingat tingkat kesulitan mengolah makanan mie instan remas.

Ibu hanya marah, melarang adik membeli lagi besok hari, sementara dia memanggil kakak. Rombong sudah mulai sepi, ibu dan kakak makan bakso, menguatkan kakak agar tidak iri dengan adiknya. Sambil mengatakan dia memerintah kakak mendekat dan berbagi bakso dengan kakak. Nenek masih sibuk mengulek ketoprak, melayani beberapa pembeli yang tersisa, kakek tidak ada ditempat, mengantar pelanggan. Mungkin setelah ini, giliran nenek makan siang, entah dengan menu apa. Yang pasti bukan mie instan remas. Beberapa jarak didepannya saya dan rekan saya kenyang luar biasa.

Dalam perjalanan pulang, saya masih berpikir, mengapa saya melihat kakak hari rabu pertama kali saya makan disana dan pada hari minggu yang lain. Sepertinya kakak tidak sekolah.

Jika teman saya makan dengan teman yang lain, mungkin hari itu akan jadi pemaparan tentang permiskinan struktral di Indonesia, pelarangan buruh anak, dan statiktik angka anak jalanan yang semakin meningkat.

Hari ini saya makan siang dengan teman yang asik, kami hanya melihat sebuah keluarga yang pindah rumah, seperti keluarga tidak tetap namun selalu bersama. Adik kecil yang manja dan selalu tidak sengaja membuat masalah, ibu yang menjadi mediator dalam ada konflik, kakak yang mau paham dan punya peran besar dalam mengoperasikan bisnis keluarga (cieeeh “Bisnis Keluarga”…. Tapi bener kan), nenek yang mendukung dan menjadi motor, serta kakek yang mencari pekerjaan lain namun tetap tinggal dan membantu keluarga. Semuanya bergerinda menjadi roda yang menggerakkan. Ternyata syarat menjadi keluarga adalah melakukan peran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar