Laman

Selasa, 07 Mei 2013

Kunjungan Ke Radio


Kunjungan di radio merupakan kunjungan yang unik. Bagi saya, semua tempat memang unik, namun ini adalah kali pertama kami berkunjung ke pusat media yang hanya berbentuk audio dan juga kunjungan pertama kami ke organisasi profit.

Ruang kelas kami kecil dan sempit tapi antusias kami besar ditambah keinginan pemateri dari pihak radio yang tidak canggung dengan kedatangan kami yang keroyokan. Pemateri sangat ramah dan luwes dalam penyambutan. Kelas kecil merupakan kelas yang saya sukai, tertama kelas kami yang bertema inter-religi. Dalam ruang sempit ini, kesempatan kami untuk bersinggungan semakin besar. Kami yang besar dan banyak menjadi kecil dan uni.

Pemateri menceritakan tentang sejarah berdirinya radio beserta landasan filosifi dari radio. Nama radio dipilih dari seorang kepala komunitas yang menyimbol pemimpin loyal dan guyub dengan kelompok. Sehingga filosofi dari radio adalah kebersamaan. Selain itu, dijelaskan pula susunan struktur lembaga melalui foto-foto yang dipasang di sekeliling dinding ruangan.

 Setelah itu pemateri berceritakan tentang program sandiwara radio dengan lakon karakter-karakter dari latar belakang budaya yang berbeda. Tujuannya adalah untuk menampilkan multikulturarisme dengan cara yang menghibur dan nyaman didengar.

Dalam narasinya yang panjang, pemateri bercerita isi dari sandiwara radio tentang kehidupan anak kost dengan konflik-konflik harian. Tema ini diangkat mengingat pendengar radio kebanyakan adalah anak muda. Pasar ditentukan karena Yogyakarta dianggap kota para pendatang terutama pelajar berusia muda dan menginjak kehidupan perantauan yang serba baru. Sedangkan untuk mendapat bentuk yang menghibur, beberapa elemen cerita didramatisir.

Sampai tulisan ini terbit, saya masih heran mengapa pihak radio tidak memutar drama radio itu dalam kelas kami, barang 20 atau 30 menit saja. Karena saya yakin pasti ada record dokumentasi dari pihak radio.
Abstrak dari pemateri membawa pertanyaan cerdas dari salah satu teman kami: “Bagaimana jika dalam acara ada dialog yang bersifat pelabelan ganda (Double Stereotype) terhadap ras tertentu, sehingga menempelkan prasangka negative yang semakin dilazimkan?”

Pemateri menjawab bahwa dalam beberapa kesempatan masing-masing karakter pernah kena giliran. (Giliran apa???? Giliran di-bully????)

Program lain yang mengusung nilai religi adalah sebuah dialog agama Islam. Program ini diproduksi mengingat rata-rata pendengar beragama Islam. Pemateri juga menjelaskan walaupun acara bertema Islami namun kandungan dan nilai yang diusung sangat universal dan dapat diaplikasikan dan direnungkan oleh semua agama.

Namun jika acara ini memang diperuntukkan untuk mempromosikan nilai-nilai spiritual yang universal, mengapa harus berlatar belakang Islam? Mengapa tidak memberi judul yang lebih kontemporer? Tema filsafat contohnya atau acara yang berbasis kemanusiaan tanpa menyimbulkan suatu aliran agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar