Kunjungan di radio
merupakan kunjungan yang unik. Bagi saya, semua tempat memang unik, namun ini
adalah kali pertama kami berkunjung ke pusat media yang hanya berbentuk audio
dan juga kunjungan pertama kami ke organisasi profit.
Ruang kelas kami kecil
dan sempit tapi antusias kami besar ditambah keinginan pemateri dari pihak
radio yang tidak canggung dengan kedatangan kami yang keroyokan. Pemateri
sangat ramah dan luwes dalam penyambutan. Kelas kecil merupakan kelas yang saya
sukai, tertama kelas kami yang bertema inter-religi. Dalam ruang sempit ini,
kesempatan kami untuk bersinggungan semakin besar. Kami yang besar dan banyak
menjadi kecil dan uni.
Pemateri menceritakan
tentang sejarah berdirinya radio beserta landasan filosifi dari radio. Nama radio
dipilih dari seorang kepala komunitas yang menyimbol pemimpin loyal dan guyub
dengan kelompok. Sehingga filosofi dari radio adalah kebersamaan. Selain itu,
dijelaskan pula susunan struktur lembaga melalui foto-foto yang dipasang di sekeliling
dinding ruangan.
Setelah itu pemateri berceritakan tentang
program sandiwara radio dengan lakon karakter-karakter dari latar belakang
budaya yang berbeda. Tujuannya adalah untuk menampilkan multikulturarisme
dengan cara yang menghibur dan nyaman didengar.
Dalam narasinya yang
panjang, pemateri bercerita isi dari sandiwara radio tentang kehidupan anak
kost dengan konflik-konflik harian. Tema ini diangkat mengingat pendengar radio
kebanyakan adalah anak muda. Pasar ditentukan karena Yogyakarta dianggap kota
para pendatang terutama pelajar berusia muda dan menginjak kehidupan perantauan
yang serba baru. Sedangkan untuk mendapat bentuk yang menghibur, beberapa
elemen cerita didramatisir.
Sampai tulisan ini
terbit, saya masih heran mengapa pihak radio tidak memutar drama radio itu
dalam kelas kami, barang 20 atau 30 menit saja. Karena saya yakin pasti ada
record dokumentasi dari pihak radio.
Abstrak dari pemateri
membawa pertanyaan cerdas dari salah satu teman kami: “Bagaimana jika dalam
acara ada dialog yang bersifat pelabelan ganda (Double Stereotype) terhadap ras
tertentu, sehingga menempelkan prasangka negative yang semakin dilazimkan?”
Pemateri menjawab
bahwa dalam beberapa kesempatan masing-masing karakter pernah kena giliran.
(Giliran apa???? Giliran di-bully????)
Program lain yang
mengusung nilai religi adalah sebuah dialog agama Islam. Program ini diproduksi
mengingat rata-rata pendengar beragama Islam. Pemateri juga menjelaskan
walaupun acara bertema Islami namun kandungan dan nilai yang diusung sangat
universal dan dapat diaplikasikan dan direnungkan oleh semua agama.
Namun jika acara ini
memang diperuntukkan untuk mempromosikan nilai-nilai spiritual yang universal,
mengapa harus berlatar belakang Islam? Mengapa tidak memberi judul yang lebih
kontemporer? Tema filsafat contohnya atau acara yang berbasis kemanusiaan tanpa
menyimbulkan suatu aliran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar