Sesampai
pondok pesantren, kami disambut oleh beberapa santri. Tiga perempuan remaja ada
di dekat gedung, satu remaja pria menunggu kami di area parkir sambil sesekali
menawarkan daerah parkir kosong pada teman-teman yang baru datang. Keempatnya menggunakan
baju santri seperti pada umumnya, perempuan memakai jilbab dan rok panjang
sementara pria memakai peci dan kemeja rapi, dibuat senada dengan celana. Lebih
dari itu keempatnya tersenyum sangat ramah, mereka menunjukkan kami ruang
dimana kami akan mengadakan kelas.
Kelas sudah
mulai ramai, murid-murid SLI4 berdatangan satu persatu hingga ruangan penuh
melingkar sempurna. Kami duduk di lantai dengan proyektor menampilkan video
tayangan profil pesantren. Ditengah-tengah tayangan, seorang datang ustad
menjelaskan tentang tayangan kepada kami. Tayangan yang kami lihat adalah video
peliputan yang ditayangkan televisi swasta 2 Ramadhan sebelumnya dalam program
khusus bulan suci umat Islam.
Menghafal
Al-Quran
Ustad
tersebut menjelaskan tentang pesantren tempat dia bernaung. Pesantren ini
memiliki murid yang bersekolah di Sekolah Dasar hingga Madrasah Aliyah
(Setingkat SMU) hingga perguruan tinggi perguruan tinggi. Ciri khas dari
pesantren ini adalah dari pelajarannya menghafalakan Al-Quran. Ada beberapa
filosofi tentang menghafalkan Al-Quran. Beberapa percaya bahwa menghafal Quran
adalah tradisi mulai jaman Nabi Muhammad karena orang-orang pada saat itu masih
banyak yang buta huruf namun sangat pandai dalam hafalan. Oleh sebab itu
walaupun Al-Quran telah hadir dalam bentuk cetak dan digital, menghafal
Al-Quran memiliki tujuan untuk melestariakan tradisi. Bahkan Nabi Muhammad
pernah menikahkan pasangan dengan mas kawin hafalan Quran.
Untuk dapat menghafalkan Al-Quran dan tetap mendapat pendidikan ilmiah yang seimbang, pemateri memberikan jadwal para santri sejak Subuh hingga malam.
Ustad memperbolehkan para santri belajar dan membaca buku apapun. Bahkan buku yang dianggap bertentangan dengan nilai dasar Islam. Tentu saja ini diluar kebiasaan karena Ponpres yang mengutamakan hafalan Al-Quran sangat identik dengan kemungkinan doktrinasi yang tidak memberi ruang bertanya pada para santri.
Ustad memperbolehkan para santri belajar dan membaca buku apapun. Bahkan buku yang dianggap bertentangan dengan nilai dasar Islam. Tentu saja ini diluar kebiasaan karena Ponpres yang mengutamakan hafalan Al-Quran sangat identik dengan kemungkinan doktrinasi yang tidak memberi ruang bertanya pada para santri.
Budaya
Ustad di
depan kami menyatakan keinginannya untuk menciptakan Islam yang Indonesia tanpa
ada intervensi dengan Islam model lain yang menyebabkan Islam menjadi
bertentangan dengan budaya nasional. Penegasannya adalah karena Islam tidak
akan berkembang dan diterima jika bertentangan dengan budaya lokal.
Beliau
menambahkan ”Budaya Islam adalah budaya yang juga wajib dijaga dan dilindungi
oleh orang-orang non-Muslim dan begitu pula sebaliknya, karena Islam tidak bisa
berdiri sendiri dengan budaya lain yang bersinggunggan sehingga membentuk wajah
Islam seperti sekarang.” Agama adalah budaya dan budaya adalah pelestari ajaran
agama.
Strukturalis Genesis
Untuk menjaga
keotentikan ajaran, ada bukti strukturalis genesis dari pendahulu-pendahulu
sebelumnya yang berbentuk seperti bagan pohon keluarga. Bagan ini membuktikan
adanya cita-cita awal yang terus dijaga, selain itu juga agar dapat mempetakan
pondok pesantren lain yang mungkin saja bercabang dari satu batang yang sama.
Sehingga pertalian umat Islam bisa dijaga.
Media. Yang Komunal dan Pribadi
Pada masa
studi dan tinggal di Ponpres, santri-santri tidak diperbolehkan membawa dan
menggunakan HP masuk dalam Pondok pesantren, namun mereka diperbolehkan membawa
radio besar. Menarik sekali melihat kebijakan ini mengingat bahwa frekuensi
media memang seharusnya digunakan secara komunal.
Telepon
genggam diciptakan untuk digunakan secara pribadi untuk telepon, mengirim pesan
singkat atau mendengarkan musik. Jika telepon genggam diperbolehkan masuk,
tidak bisa dihindari bahwa kemungkinan santri untuk melakukan kerja
sendiri-sendiri akan lebih tinggi. Mereka bisa saja sibuk berkomunikasi dengan
pihak jauh sementara teman yang satu jangkauan terabaikan. Atau mereka akan
malas berkunjung ke teman-teman di kamar lain karena sudah memiliki komunikasi
nir-kabel.
Radio bisa
dinikmati bersama-sama, sehingga dalam pemakaiannya terjadi komunikasi seperti
level suara yang ingin didengarkan bersama atau gelombang radio yang dipilih
bersama. Kegiatan ini memungkinkan santri saling berkomunikasi, bernegosiasi,
mengenalkan konflik dan mengajarkan mencari solusi untuk mencapai kesepakatan.
Santri-santri
di pondok pesantren berasal dari daerah yang berbeda dengan budaya sosial yang
berbeda. Diantara mereka bahkan ada yang berasal dari luar Pulau Jawa, padahal,
Pondok pesantren ini tidak memiliki web-side yang rumit. Saat saya mencoba
menemukan dalam mesin cari singkat di internet, saya hanya mendapat sebuah blog
(dengan domain gmail juga) sebagai situs resminya. Orang tua santri mendapat kabar tentang keberadaan
pondok pesantren dari mulut ke mulut melalui beberapa generasi.
Pondok
pesantren ini membuktikan bahwa komunikasi wicara adalah alat komunikasi awal
yang digunakan sangat sering karena dimiliki oleh manusia dan paling persuatif.
Diahir kelas
kami diajak berjalan-jalan mengelilingi komplek Pondok bersama beberapa santri.
Saya tidak bisa menilai bagaimana kehidupan di dalam pondok ini karena
kunjungan kami yang terbatas, tetapi saya bisa menilai kehangatan dan
penerimaan dari pihak Ponpres serta senyum ramah sejak kami datang sampai pamit
pulang. Benar-benar jauh dari kesan pondok pesantren yang kaku dan tertutup.
"Well, the
most important thing about Islam is that we have to differentiate between two
kinds of Islam. The first one is the institution of Islam... second, the
culture of Islam."
Abdurrahman
Wahid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar