Laman

Selasa, 07 Mei 2013

Media Komunal


Sesampai pondok pesantren, kami disambut oleh beberapa santri. Tiga perempuan remaja ada di dekat gedung, satu remaja pria menunggu kami di area parkir sambil sesekali menawarkan daerah parkir kosong pada teman-teman yang baru datang. Keempatnya menggunakan baju santri seperti pada umumnya, perempuan memakai jilbab dan rok panjang sementara pria memakai peci dan kemeja rapi, dibuat senada dengan celana. Lebih dari itu keempatnya tersenyum sangat ramah, mereka menunjukkan kami ruang dimana kami akan mengadakan kelas.

Kelas sudah mulai ramai, murid-murid SLI4 berdatangan satu persatu hingga ruangan penuh melingkar sempurna. Kami duduk di lantai dengan proyektor menampilkan video tayangan profil pesantren. Ditengah-tengah tayangan, seorang datang ustad menjelaskan tentang tayangan kepada kami. Tayangan yang kami lihat adalah video peliputan yang ditayangkan televisi swasta 2 Ramadhan sebelumnya dalam program khusus bulan suci umat Islam.

Menghafal Al-Quran
Ustad tersebut menjelaskan tentang pesantren tempat dia bernaung. Pesantren ini memiliki murid yang bersekolah di Sekolah Dasar hingga Madrasah Aliyah (Setingkat SMU) hingga perguruan tinggi perguruan tinggi. Ciri khas dari pesantren ini adalah dari pelajarannya menghafalakan Al-Quran. Ada beberapa filosofi tentang menghafalkan Al-Quran. Beberapa percaya bahwa menghafal Quran adalah tradisi mulai jaman Nabi Muhammad karena orang-orang pada saat itu masih banyak yang buta huruf namun sangat pandai dalam hafalan. Oleh sebab itu walaupun Al-Quran telah hadir dalam bentuk cetak dan digital, menghafal Al-Quran memiliki tujuan untuk melestariakan tradisi. Bahkan Nabi Muhammad pernah menikahkan pasangan dengan mas kawin hafalan Quran.

Untuk dapat menghafalkan Al-Quran dan tetap mendapat pendidikan ilmiah yang seimbang, pemateri memberikan jadwal para santri sejak Subuh hingga malam.

Ustad memperbolehkan para santri belajar dan membaca buku apapun. Bahkan buku yang dianggap bertentangan dengan nilai dasar Islam. Tentu saja ini diluar kebiasaan karena Ponpres yang mengutamakan hafalan Al-Quran sangat identik dengan kemungkinan doktrinasi yang tidak memberi ruang bertanya pada para santri.

Budaya
Ustad di depan kami menyatakan keinginannya untuk menciptakan Islam yang Indonesia tanpa ada intervensi dengan Islam model lain yang menyebabkan Islam menjadi bertentangan dengan budaya nasional. Penegasannya adalah karena Islam tidak akan berkembang dan diterima jika bertentangan dengan budaya lokal.

Beliau menambahkan ”Budaya Islam adalah budaya yang juga wajib dijaga dan dilindungi oleh orang-orang non-Muslim dan begitu pula sebaliknya, karena Islam tidak bisa berdiri sendiri dengan budaya lain yang bersinggunggan sehingga membentuk wajah Islam seperti sekarang.” Agama adalah budaya dan budaya adalah pelestari ajaran agama.

Strukturalis Genesis
Untuk menjaga keotentikan ajaran, ada bukti strukturalis genesis dari pendahulu-pendahulu sebelumnya yang berbentuk seperti bagan pohon keluarga. Bagan ini membuktikan adanya cita-cita awal yang terus dijaga, selain itu juga agar dapat mempetakan pondok pesantren lain yang mungkin saja bercabang dari satu batang yang sama. Sehingga pertalian umat Islam bisa dijaga.

Media. Yang Komunal dan Pribadi
Pada masa studi dan tinggal di Ponpres, santri-santri tidak diperbolehkan membawa dan menggunakan HP masuk dalam Pondok pesantren, namun mereka diperbolehkan membawa radio besar. Menarik sekali melihat kebijakan ini mengingat bahwa frekuensi media memang seharusnya digunakan secara komunal.
Telepon genggam diciptakan untuk digunakan secara pribadi untuk telepon, mengirim pesan singkat atau mendengarkan musik. Jika telepon genggam diperbolehkan masuk, tidak bisa dihindari bahwa kemungkinan santri untuk melakukan kerja sendiri-sendiri akan lebih tinggi. Mereka bisa saja sibuk berkomunikasi dengan pihak jauh sementara teman yang satu jangkauan terabaikan. Atau mereka akan malas berkunjung ke teman-teman di kamar lain karena sudah memiliki komunikasi nir-kabel.

Radio bisa dinikmati bersama-sama, sehingga dalam pemakaiannya terjadi komunikasi seperti level suara yang ingin didengarkan bersama atau gelombang radio yang dipilih bersama. Kegiatan ini memungkinkan santri saling berkomunikasi, bernegosiasi, mengenalkan konflik dan mengajarkan mencari solusi untuk mencapai kesepakatan.

Santri-santri di pondok pesantren berasal dari daerah yang berbeda dengan budaya sosial yang berbeda. Diantara mereka bahkan ada yang berasal dari luar Pulau Jawa, padahal, Pondok pesantren ini tidak memiliki web-side yang rumit. Saat saya mencoba menemukan dalam mesin cari singkat di internet, saya hanya mendapat sebuah blog (dengan domain gmail juga) sebagai situs resminya. Orang tua  santri mendapat kabar tentang keberadaan pondok pesantren dari mulut ke mulut melalui beberapa generasi.

Pondok pesantren ini membuktikan bahwa komunikasi wicara adalah alat komunikasi awal yang digunakan sangat sering karena dimiliki oleh manusia dan paling persuatif.

Diahir kelas kami diajak berjalan-jalan mengelilingi komplek Pondok bersama beberapa santri. Saya tidak bisa menilai bagaimana kehidupan di dalam pondok ini karena kunjungan kami yang terbatas, tetapi saya bisa menilai kehangatan dan penerimaan dari pihak Ponpres serta senyum ramah sejak kami datang sampai pamit pulang. Benar-benar jauh dari kesan pondok pesantren yang kaku dan tertutup.

"Well, the most important thing about Islam is that we have to differentiate between two kinds of Islam. The first one is the institution of Islam... second, the culture of Islam." 
Abdurrahman Wahid



Tidak ada komentar:

Posting Komentar