Saya
memberi tahu Ana perihal keikutsertaan saya dalam program 10 hari
Vipassana di Vihara Bodhigiri di Blitar awal Agustus lalu melalui
pesan daring. Seperti biasa Ana menanggapinya dengan bahasa positif
dan sangat memampukan. Ana berkata bersyukur bahwa jalan saya belajar
meditasi dan yoga dibukakan dan semakin dimantapkan. Dalam pesan, dia
juga berharap semoga saya dimudahkan jalannya dalam pencarian hidup.
Karena
meditasi dilakukan di Blitar, saya sempat berjanji akan mampir ke
Malang untuk mengunjungi Ana. Ana sangat senang dan mengirim fotonya
lewat WA. Dia ingin meyakinkan saya bahwa dia baik-baik saja dan
tetap sehat.
Pertemuan
saya dan Ana dimulai sekitar 5 tahun lalu di Yogyakarta dalam
Jaringan Perempuan Yogyakarta. Semenjak itu kami lebih sering bertemu
dan tukar pendapat bahkan saling tukar pekerjaan. Ana adalah guru
bahasa Inggris profesional. Kawan-kawan sering meminta jasanya
belajar bahasa Inggris untuk keperluan kantor atau rencana studi ke
luar negeri. Saya juga menggunakan jasa Ana ketika kantor saya
membutuhkan peningkatan kapasitas berbahasa Inggris. Ketika saya
merencanakan mengikuti ujian IELTS (International English Language
Testing System), Ana justru menolak saya jadi muridnya dan membagikan
soal-soal latihan IELTS dengan cuma-cuma agar saya mau belajar
sendiri. Ana sudah tahu kemampuan saya.
Ana
saya kenal baik dan tidak pernah mengeluhkan dinamika pertemanan yang
terjadi di Yogyakarta. Dia berteman dengan siapa saja, tanpa memilih
meskipun orang tersebut sering disebut-sebut punya masalah dalam
kelompok. Bagi Ana, berteman berarti menyediakan ruang tumbuh bersama
tanpa ada kepentingan khusus. Tidak pernah saya mendengar Ana
mengeluh tentang seseorang atau kehilangan senyum dalam setiap kali
bertemu. Kecuali bahwa sebaliknya, saya sering berkeluh kesah kepada
Ana dan Ana selalu membersihkan telinga dan hatinya, menjadi
pendengar yang baik dan dikarenakan dia tidak memiliki agenda
pribadi, maka saran-saran yang dia berikan selalu berpijak pada
kebenaran. Kadang saya dibuat malu oleh saran yang keluar dengan
tutur yang santun namun menohok. (Oh Ana betapa aku sangat
merindukanku ketika barisan tulisan ini aku himpun untukmu).
Sayangnya,
saya menghianati janji saya bertandang ke Malang karena urusan yang
harus saya lakukan di Jember. Dalam informasi batal inipun, Ana
memaklumi dan meminta saya untuk terus mengjar cita-cita.
Pada
9 oktober 2018, melalui tayangan di facebook mbak Asih, saya mendapat
kabar bahwa Ana sudah berpulang, berangkat ke tempat yang lebih
mulia.
Ketika
ada rencana perjalanan ke Surabaya, saya ahirnya sempatkan datang ke
rumah Ana meskipun mendiang telah dikebumikan. Saya ingin melarung
hormat terahir saya kepada Ana agar kebaikannya bisa saya contoh.
Pernikahan
Di
rumah duka, saya disambut oleh Ibu Misni -ibunda dari Ana- yang
langsung mempersilahkan saya duduk. Menemani saya sepanjang siang
itu, menceritakan tentang hari-hari terahir Ana tanpa saya minta. Dan
selama di samping, Ibu Misni terus meremas tangan saya. Dia melepas
tangannya hanya ketika menawari air minum dan kue yang disodorkan
kepada saya, meletakkan piring di atas meja, lalu kembali lagi
menggenggam tangan saya.
Ibu menceritakan tentang kisah hidup Ana sebelum kami saling mengenal.
Dari cerita tersebut, saya semakin paham, bagi Ana aktivisme dan
menjadi pekerja sosial bukan hanya profesi kantor, namun dia juga
melakukannya dalam hidup sehari-hari. Ana pernah menggalang dana
untuk operasi gondok orang yang tidak dikenal ketika dia di Malang.
Dia juga menolong tetangganya yang kesusahan. Ana selalu punya
deposit energi untuk orang lain, bahkan dihari-hari ahir ketika dia
menjalankan kemo (bukan terapi). Ana masih menyibukkan diri dengan
aktivismenya. Bolak-balik Yogyakarta dan bahkan sampai keluar negeri.
Dari
tutur dan cerita Ibu Misni, saya percaya dengan mitos bahwa perempuan
kuat dibesarkan oleh perempuan yang kuat pula, karena saya melihat
Ibu Misni berusaha tabah saat menemani tamu-tamunya. Ibu Misni
mengambil buku yang menjadi insprasi Ana. Dia menunjukkan kepada saya
tandatangan pengarang dan mengutip beberapa frasa yang dia tandai.
Suatu
kali Ibu Misni pernah bertanya tentang pernikahan kepada Ana dan Ana
menanggapi dengan bijaksana:
“Mami
kok malah mengalami kemunduran? Pernikahan adalah masalah pribadi,
ada orang yang bahagia dalam pernikahan namun ada juga orang yang
bahagia ketika dalam keadaan tidak menikah.”
Saya
melihat Ana yang asli dalam jawaban ini, Ana yang walaupun hatinya
lembut dan selalu ceria namun bisa menjadi tegas dan bijaksana. Saya
tidak pernah memikirkan jawaban itu ketika orang-orang bertanya
kepada saya atau bersikap acuh dengan pertanyaan seputar pernikahan.
Saya melihat hubungan yang setara antara Ibu Misni dan Ana sebagai
ibu dan anak yang selalu menyediakan ruang diskusi luas untuk
mengkorfimasi pikiran, pemikiran dan perasaan.
Lahir
Kembali
Jika
ada sesuatu yang saya rahasiakan kepada Ana adalah perjuangan saya
pulih dari rasa panik dan rasa takut yang sedang saya hadapi.
Keputusan saya mengikuti program Vipassana di Blitar adalah karena
pola keinginan bunuh diri saya muncul kembali dan sering datang.
Tentu saya tidak membagi kisah ini dengan Ana mengingat dia juga
sedang berjuang dengan kanker dalam 2 tahun terahir. Saya yakin,
secara batin Ana memahami keadaan saya dan akan selalu mendukung
apapun yang saya putuskan.
Pola
bunuh diri saya muncul kembali semenjak kematian salah seorang
sahabat. Saya merasa kesepian dan semakin sedikit orang yang memahami
saya dan serasa dunia semakin mengecil.
Namun
kepergian Ana berbeda. Kepergian Ana mengajarkan saya untuk lebih
menerima kejadian tak terduga dalam hidup, bahkan kenyataan jika
suatu hari saya bisa saja sakit dan meninggal. Banyak yang saya
pelajari dari persahabatan dengan Ana dan perjumpaan saya dengan Ibu
Misni. Ana mengajarkan saya bahwa penghargaan terhadap penciptaan
kehidupan adalah merawat hidup dan mencintai tubuh sendiri sebagai
bentuk rasa syukur.
Selamat
jalan Ana, lindungi kami terus dan semangatmu akan selalu kuhidupkan, sampai kita bertemu lagi.